Kamis, 17 November 2022

Value harta.?

By  Erizeli Jeli Bandaro

Tahun 2003 setelah bangkrut ke empat kali, saya dapat peluang bisnis urus soft loan proyek APBN. Komisi saya terima USD 1,8 juta. Uang sebanyak itu tidak membuat saya dan istri euforia sehingga beli rumah mewah dan kendaraan mewah. Saya gunakan untuk buka usaha di China. Setahun bisnis di china, uang USD 1,8 juta ludes. Saya terpaksa pinjam uang dari Wenny. Dia gadaikan rekeningnya untuk memberi saya modal.

Setelah itu usaha mulai ada wujudnya. Dan terus berkembang. Tahun 2006 dari business maklon di China, di rekening uang cash perusahaan saya ada USD 50 juta. Kalau saya berhenti bisnis dan pulang ke Indonesia dengan uang sebanyak itu, dan uang itu saya depositokan, tentu hidup saya nyaman. Tapi philosofi hidup saya bukan harta tapi value.

Dari uang sebanyak itu saya gunakan untuk membangun business private equity di Hong Kong. Saat itu ekonomi sedang booming. Gelombang LBO sangat marak. Saya cemplungkan modal USD 50 juta itu ke bisnis LBO. Saya hired profesional untuk melengkapi organisasi bisnis yang sesuai visi saya.

Yang pertama saya lakukan adalah akuisisi tambang di Mongolia dan kemudian Brazil. Dari bisnis tambang ini saya leverage untuk akuisisi bisnis di berbagai negara. Singkatnya tiada hari tanpa berburu proyek dan hutang. Dari tahun 2006 sampai tahun 2013, saya bisa kuasai bisnis Tambang, iindustri dan manufaktur elektronika, agro industry, AMC, property dan lain lain.

Tahun 2013 keadaan ekonomi memburuk sebagai rely dari krisis lehman tahun 2008. Saya terjebak utang karena harga tambang terus jatuh. Saya harus topup collateral dengan asset anak perusahaan. Saya memilih mengalihkan semua pinjaman itu kepada CIC dengan skema Debt to equity SWAP, jangka waktu 5 tahun. Konsekwensi saya harus mundur dari CEO. Kalau saya gagal bayar maka semua utang jadi modal lender. Dan saya keluar bawa kolor doang. Ya udah. Yang penting utang selesai. Entar lima tahun, gimana lagi.

Tahun 2018 saya kembali menghadapi tuntutan hutang yang jatuh tempo. Saya bisa selamatkan perusahaan dengan penggalangan dana lewat SPAC untuk akuisisi perusahaan saya sendiri dan kemudian menjualnya kepada BUMN China sebesar 60%. Dengan penjualan itu, utang bisa saya lunasi. Namun sejak tahun 2018 sampai kini usaha terus berkembang dan penambahan modal terus terjadi. Saham saya terdelusi tinggal 20% namun value perusahaan meningkat 5 kali dibanding tahun 2018.

Nah andaikan philosofi saya bahwa harta itu adalah uang. Mungkin saya akan melengkapi diri dengan aksesoris standar hidup kaum tajir yang plabmboyan. Saya tidak begitu. Bagi saya harta itu adalah value dan value yang tertinggi adalah spiritual. APa itu? harta tidak membuat saya angkuh. Karena harta berkorelasi dengan tanggung jawab sosial kepada pembangunan peradaban yang lebih baik. Itu berat. Makanya secara personal saya berusaha biasa saja dan hidup sederhana. Yang penting diusia menua ini saya bisa leluasa beribadah, bergaul, membaca buku, menulis cerpen dan menikmati kebersamaan dengan keluarga. Tentu karena engga bokek, Itu aja.

Ulasan lain dari Mytery of capital.
Ala Udin pedagang sempak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar