Minggu, 20 November 2022

Essay minggu.

 By Erizeli Jeli Bandaro

Di sela sela acara G20, Jokowi dan Xijinping secara simbolis meresmikan Kereta Cepat. Namun setelah itu, ada kendala serius penyelesaian Kereta Cepat. Sampai sekarang pemerintah belum juga mengeluarkan dana PMN sebesar Rp. 3,2 triliun kepada PT. KAI sebagai anggota konsorsium. Ini berdampak kenaikan biaya proyek. Menurut KAI, kalau desember nanti dana PMN cair, dipastikan tidak akan ada cost overrun lagi. Apa iya? dari dulu selalu begitu bilangnya sebelum anggaran turun. Akhirnya tetap saja cost overrun lagi.

Mengapa belum juga cair dana PMN?

Ternyata DPR belum menyetujui anggaran Rp. 3,2 Triliun untuk PMN PT. KAI. Jadi harapan desember cair, entahlah. Apa pasal? Karena hasil dua kali asersi BPKP memang terjadi cost overrun US$1,45 miliar ( Rp. 22 Triliun). Nah, kalau APBN keluar sebesar Rp. 3,2 triliun. Apa jaminannya akan selesai. Darimana kekurangan sisanya sebesar Rp. 18,56 Triliun? Berharap dari China Development bank (CDB)? Apa iya CDB mau memberikan pinjaman lagi atas proyek yang overrun dan tanpa jaminan pemerintah ? Andai pemerintah setuju memberikan jaminan, belum tentu DPR setuju. Kan penjaminan lewat APBN harus persetujuan DPR.

Masalah proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung sepertinya sudah masuk ranah politik. Terjadi gerakan silent menjepit Presiden. Koalisi pemerintah tidak keliatan solid. Terbukti Komisi IV DPR menunda pemberian PMN kepada PT. KAI sebesar Rp. 3,2 Triliun. Kalau Rp. 3,2 triliun aja sulit, ya gimana solusi menutupi kekurangan Rp. 18,56 triliun. Tanpa dukungan politk mana bisa dapat solusi. Padahal sudah ada Perpres 93/2021. Bisa jadi justru Perpres ini yang membuat Jokowi terjepit. Karena bertentangan dengan prinsip membangun indonesia centris.

Pada awalnya skema proyek Kereta Cepat ini adalah B2B ( Perpres tahun 107/2015). Tanpa ada APBN terlibat baik langsung maupun tidak langsung. Hutang dan return investment dijamin dengan skema leverage TOD dan peningkatan value tanah pada setiap TOD. Dalam pelaksanaannya, tanah dan TOD dikuasai konglomerat Swasta. Jadi bisnis model berubah. Sumber pendapatan bertumpu kepada ticket. Dengan bayar bunga dan cicilan, butuh 100 tahun baru lunas. Resiko dan pembiayaan ditanggung oleh APBN (Perpres 93/2021) .

Sederet masalah menghadang. Misal, utang Jumbo Waskita Karya, sebesar Rp. 79 triliun, belum ada solusi konkrit penyelesaianya.Rencana divestasi lewat pelepasan ruas tol dan right issue belum tentu sukses. Karena tanpa persetujuan DPR engga bisa dilakukan. Proyek LRT Jabodebek yang juga terjadi cost overrun. Komitment pembiayaan sebesar 80% dari total anggaran IKN belum ada dari investor. Dan kurs rupiah sudah 3 minggu tertekan terus. Kalau masalah ini tidak selesai dan tidak ada solusi konkrit dari elite politik, Jokowi beresiko secara politik. Jadi mari focus kepada PR jokowi yang harus diselesaikan. Engga usah bicara capres dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar