Jumat, 25 November 2022

Budaya dan Mindset Orang Indonesia

Di Singapore kemarin saya bertemu dengan teman lama dari Eropa. Kami ngobrol santai sambil ngopi. “ kamu tahu. Apa yang hebat dari AS? tanya teman. Saya diam senyum aja.” yang hebat adalah ketika krisis terjadi, kelas menengah jadi kelas bawah dan jumlah kelas bawah bertambah. Jumlah kelas atas tidak bertambah namun mereka semakin tajir. Jadi walau banyak homeless dan gemble di AS, ekonomi AS tetap kuat. Beda dengan Eropa, ketika krisis terjadi, jumlah kelas menengan yang jatuh miskin tidak begitu banyak, tetap saja secara nasional diatas 50%. Itu karena mereka smart financial planner. Jauh hari mereka sudah antisipasi terjadinya krisis, yaitu lewat hemat belanja. Nah karena kelas menengah Di Eropa itu besar sekali. Jauh lebih besar dari AS. Apabila resesi terjadi maka daya beli domestik sangat besar sekali pengaruhnya. Justru ini yang membuat lambat proses recovery ekonomi. Menurut saya, sebetulnya di AS itu tidak jauh beda dengan Indonesia. Maklum mentor ekonomi kita semua alumni kampus AS. Walau saat krisis, kelas menengah jatuh miskin dan kelas miskin jadi blangsat, kalangan atas tidak berubah. Bahkan mereka makin kaya. Terus aja mereka belanja. Bandara tetap rame. jalan tol masih macet dan tempat wisata terus didatangi wisatawan, selir terus bertambah. Pemilu tetap ramai pawai. Sehingga daya beli dometik tetap tinggi, untuk kita bisa recovery ekonomi. Mengapa ? penyebabnya ada dua Pertama. Budaya yang jadi mindset orang Indonesia bahwa jabatan atau kekuasaan dan uang atau harta adalah lambang harga diri dan aktualisasi diri. Umumnya kena penyakit megalomania. Gila pujian dan citra. Apapun mereka lakukan untuk itu. Termasuk menjual negara, menjual orang miskin, bahkan Tuhan pun mereka jual. Kedua, karena budaya tinggi hati atau mindset rakus, seperti hal yang pertama itu, sehingga keadilan sosial sangat mahal. Sulit dijangkau orang miskin. Maka harga diri mereka jual. Pada saat pemilu mereka bisa menjual hak suaranya. Setelah pemillu, kehormatan mereka jual termasuk jadi pelacur atau pengemis di kota. Sampai di Bandara Soeta malam hari, saya naik ojol. Tapi kendaraannya bagus “ Pak, berapa usianya ? “ 60 tahun pak”katanya. “ Ini kendaraan sendiri? “ Ya kerjasama dengan teman. Dia bayar DP leasing, saya yang bayar cicilan. Ya saya harus kerja terus pak.“ “ Ya pak. Saya juga. Harus kerja terus walau usia 60 tahun “ Sampai rumah saya beri tip USD 300. Dia berlinang air mata dan mengucapkan terimakasih. Saya bersukur dalam usia menua masih bisa kerja dan diperlukan orang. Dan saya tidak peduli dengan kelas. Karena saya berada di semua kelas dan tidak berjarak karena jabatan atau harta. Di kelas atas dan menengah saya memberikan pencerahan. Di kelas bawah, saya berbagi walau tidak dalam jumlah besar namun hati saya berada pada atmosfir sama. Empati masih hidup. Itulah syukur yang tak bertepi akan karunia Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar