Jumat, 18 November 2022

TAHUN DEPAN JADI CEO SIDC

 By Erizeli Jeli Bandaro

Bro, “ Wenny Chat via Safenet.

“ Ya. “

“ Risa nangis bicara dengan saya. Ada apa? boleh saya tahu sikap kamu?

“ Engga ada masalah secara personal. Kenapa ?

“ Dia menyesal menolak Panel CEO.”

“ Terus kenapa nangis?

“ Masalahnya kemarin panel CEO SIDC dibubarkan oleh Chairman. Menurut James, tahun depan kamu ambil alih posisi CEO karena kondisi ekonomi global sedang tidak baik baik saja. Itu sudah kesepakatan dengan pemegang saham.”

“ Terus kenapa dia nangis.”

“ Dia sedih. Justru disaat SIDC bersiap siap menghadapi resesi global, itu dia malah meminta pensiun. Dia merasa bersalah dan menyesal dengan sikapnya yang egois”

“ Risa sahabat saya ketika usia muda. Dia lebih tahu sifat saya. Biarkan dia berdamai dengan dirinya. Andaikan dia memilih pensiun, selalu ada ruang untuk dia bersandar kepada saya. “

“ Ya B.”


Saya bukan orang perpeksionis. Saya tahu diri saja. Kalau saya jual barang semurah mungkin. Dan orang tidak mau beli. Saya tidak akan maksakan diri. Tidak akan sedih karena barang tidak laku. Kalau tetap tidak ada yang beli juga, saya cut-loss. Juga tidak mengeluh karena itu. Saya berusaha berbuat baik, dan orang merasa tidak puas, tidak berterimakasih, saya juga tidak peduli. Karena saya berbuat baik bukan karena orang lain tetapi karena Tuhan.


Dalam bisnis saya sadar diri. Tanpa dukungan stakeholder saya nothing. Itupun saya tidak pernah maksakan diri untuk orang lain mengerti saya. Apapun yang dijanjikan dan dikomitkan oleh stakeholder, saya sukuri. Kalau dia akhirnya tidak mendukung, saya juga tidak marah atau kecewa. Sabar saja. Saya tahu diri. Setiap orang berhak dengan sikapnya. Pengorbanan hanya dari orang tua yang tanpa alasan. Orang lain selalu subjektif. Itu hak mereka. Bukan untuk dikeluhkan atau kecewa.


Saya kerja keras dan focus terhadap setiap peluang. Saya tahu diri. Siapalah saya untuk dapatkan kemudahan memindahkan uang ke kantong saya. Ketika sholat saya adalah islam. Hanya ada saya dan Tuhan saja. Tapi setelah sholat, saya adalah manusia biasa yang harus patuh dengan hukum alam. Kalau saya lemah, orang lain libas saya. Saya tidak akan meratap di hadapan Tuhan kalau saya tekor dan diperlakukan tidak adil. Saya justru malu di hadapan Tuhan karena akal tidak saya gunakan maksimal.


Karenanya, saya juga tidak peduli soal standar moral yang ditetapkan orang lain dalam bisnis. Patokan saya hanya hukum yang berlaku. Selagi saya patuhi aturan dan terhindar dari jebakan hukum, itu sudah cukup. Kalau karena itu ada pihak yang merasa dirugikan dan kecewa, itu bukan urusan saya. Saya hanya berusaha survival di tengah kekurangan saya dan dunia yang brengsek.


Tapi diluar bisnis saya utamakan human being. Saya suka mengalah soal personal. Saya memilih jalan bahagia. Karenanya saya hindari kebencian dan permusuhan. Saya tidak kecewa dan dendam ketika dulu kala usia muda, Florence menolak saya menikahinya dan Risa yang pergi begitu saja tanpa pamit. Saya tahu diri saja.. Tentu tidak mungkin mereka percaya begitu saja akan masa depannya kepada pria miskin dan tidak terpelajar seperti saya.


By  Erizeli Jeli Bandaro

Dan ketika saya kuat dan mereka lemah, saya sediakan tubuh saya untuk mereka bersandar. Dan hanya sebatas itu. Karena dulu ketika mereka memilih bersikap dan saya juga. Itu sudah selesai, tidak mungkin menarik jam berdetak mundur ke belakang. Tidak ada istilah sesal. Karena sesal hanya membuat saya tidak bahagia. Kalau karena sikap saya sekarang Risa dan florence memilih pergi dari saya, itu juga saya maklumi. Itu hak mereka. Saya hanya ingin bahagia dengan cara sederhana, yaitu tahu diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar