Jumat, 25 November 2022

Focus kepada value.

by Erizeli Jeli Bandaro Pernah sebelum Covid kantor saya di undang oleh bank di Indonesia untuk lelang asset. Kebetulan saya di Jakarta. Ya saya sempatkan datang. Yang datang ada 6 orang. 3 dari asing termasuk saya dan 3 lagi dari lokal. Rapat dimulai dengan memperkenalkan pemilik proyek. Pemilik pengusaha papan atas. Namanya sering disebut di media massa. Saya mengangguk saja ketika bertatap muka dengannya. Bank mempresentasikan potensi aset itu dari segi laba dan peluang. Tujuan aset dilepas karena divestasi dan recovery. “ Nah kami buka harga minimal Rp. 10 triliun. “ Kata Bank membuka prinsip TOR penawaran itu, yang salah satu saratnya melampirkan bukti kesiapan dana. “ Kami engga berani harga minimal Rp. 10 triliun. “ Kata salah satu perserta yang diundang. “ Beraninya Rp. 8 triliun” Lanjutnya final. “ Kami beraninya Rp. 8,5 Triliun. “ Kata yang lain membuka posisi. “ Kami maunya sih Rp. 9 Triliun. “ Kata yang lain. Singkatnya dari enam orang yang diundang hanya saya tidak membuka harga. Saya diam saja. Harga ditawa semua di bawah harga Bid. “ Bapak gimana ? tanya pihak banker kepada saya. Saya tatap pemilik proyek. Wajahnya terkesan arogan. Padahal dia loser. Tetapi engga tahu diri. Saya tersenyum dengan memperbiki duduk seperti anak SD. Tangan bertelak di meja. “ Saya berani Rp. 11 trilun.” Kata saya. Pihak bank senang. “Tapi..” Kata saya “ Saya engga bayar pakai uang. Tetapi pakai skema.” Lanjut saya. “ Ah omong kosong ini” Kata pemilik proyek dengan suara keras. “ kenapa orang seperti ini diudang” Katanya menunjuk saya seraya melirik pejabat bank. “ Yang lain juga buka harga engga rasional. Mereka ngerti engga sih soal investasi hah! Teriaknya. Suaranya kencang. Dia focus kepada saya. Saya senyum aja. “ Engga usah teriak teriak pak. Kita datang di udang bank. Anda dan kami semua tamu di sini. Santai aja.” “ Santai aja! Emang kamu siapa ajarin saya.” Katanya makin ngegas. “ Harga saya naikin Rp. 12 triliun” Kata saya tanpa peduli ocehannya. Mata saya tertuju kepada pejabat bank. “ Kalau saya keluar dari ruangan ini. Saya akan pasti berubah pikiran. Jadi putuskan sekarang“ lanjut saya. “ Tunjukin uang kamu, baru bicara! Gua perlu uang, bukan skema! Teriaknya makin kencang. Ya saya keluar dari ruang meeting. langsung ke pintu lift. Orang bank kejar saya. “ Pak, kita bicara diruang saya aja.” Katanya. Setelah bicara di ruangan pejabat bank, saya kembali ke ruang meeting. “ Saya udah dapat bukti dana dari bapak ini. Jadi engga perlu diragukan lagi. “ Kata pejabat bank. “ Mana buktinya.” Kata pemilik proyek “ Itu rahasia “ Kata bank. “ Kami harus jaga itu. Nanti akan dibuka setelah deal terjadi “ lanjut pejabat bank. “ Kalau begitu saya tidak setuju. Batalkan saya penawaran itu. Cari investor lain” kata pemilik proyek. Ya bubar dah meeting. Selama setahun proses berlangsung. Maju mundur terus. Saya santai saja. Dari tadinya sikap keras pemilik proyek sampai akhirnya lemah. Dari harga Rp. 12 Triliun saya goyang terus sampai harga Rp. 9 triliun. Bayarnya pakai skema. Setelah saya beli, hanya 2 bulan kemudian saya exit, jual ke China seharga Rp. 11 triliun. Jadi saya engga keluar modal. Hanya mainkan emosi pemilik proyek saja dan dorong bank memberi fasiltas mendukung skema saya. Moral cerita. Kalau anda berhutang tidak dengan persepsi value, maka saat anda berhutang saat itu juga anda pecundang. Tapi kalau anda berhutang karena value, dalam situasi apapun anda pemenang. Menikah juga sama. Kalau menikah karena sex, itu pasti pecundang. Tapi kalau karena value, dalam situasi apapun anda akan dirindukan dan didukung. Pasangan anda akan setia. Uang sebagaimana sex memang perlu, tetapi itu hanya opsi saja. Bukan tujuan. Dah gitu aja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar