Jumat, 13 Mei 2016

Central Omega Resources - Update


By Teguh Hidayat

Pada April 2012, penulis menemukan ‘mutiara terpendam’ di saham Central Omega Resources (DKFT), yang ketika itu berada pada posisi 1,670 (sebelum stocksplit. Setelah DKFT melakukan stocksplit pada bulan Agustus dengan rasio 1:5, 1,670 itu menjadi setara dengan 334), dan analisisnya sederhana: DKFT ini membukukan laba Rp177 milyar di tahun 2011, yang sepenuhnya berasal dari ekspor bijih nikel dari dua tambangnya di Morowali (Sulawesi Tengah) dan Konawe (Sulawesi Tenggara), dimana dua tambang tersebut masih dalam tahap eksplorasi awal. Jadi jika nanti dilakukan eksplorasi lebih lanjut, maka DKFT akan memproduksi lebih banyak bijih nikel, dan otomatis pendapatan perusahaan akan meningkat signifikan. Pihak manajemen sendiri mentargetkan laba bersih Rp475 milyar di tahun 2012, dan Rp792 milyar di tahun 2013, dan itu tentu saja target yang sangat atraktif. Kita pernah membahasnya di artikel ini.

However, pada artikel itu pula, penulis sudah menyampaikan satu risiko investasi di DKFT ini, yaitu: Pemerintah ketika itu sudah mengharuskan perusahaan-perusahaan tambang, termasuk DKFT, untuk membuat smelter untuk mengolah bijih nikel menjadi produk hilir dengan nilai tambah, selambat-lambatnya tahun 2014. Jika pada tahun 2014 perusahaan belum juga menyelesaikan smelter tersebut, maka perusahaan mau tidak mau harus berhenti beroperasi, karena pemerintah akan melarang ekspor bijih nikel sama sekali. Masalahnya, perusahaan harus mengumpulkan dana sebesar Rp4.5 trilyun untuk membangun smelter tersebut, dan tentu saja bukan perkara mudah untuk mengumpulkan dana sebesar itu, dan dalam waktu sesingkat itu (hanya 2 tahun, dari tahun 2012 ke 2014).

Jadi jika sampai tahun 2014 DKFT masih belum bisa menyelesaikan pembangunan smelter-nya, maka pendapatannya akan menjadi nol. Dan sayangnya memang itulah yang terjadi: Hingga tahun 2014, jangankan menyelesaikan pembangunan smelter-nya, DKFT bahkan masih belum memulai pembangunan smelter tersebut. Tapi sayangnya Pemerintah sama sekali tidak memberi toleransi: Terserah ente mau alasan apa, pokoknya you mulai tahun 2014 ini gak boleh ekspor bijih nikel lagi! Alhasil DKFT membukukan pendapatan Rp0 di tahun 2014. Sahamnya sendiri, yang pada tahun 2013 sempat naik hingga 600-an (sehingga tetap menghasilkan profit signifikan bagi investor yang membelinya pada tahun 2012, belum termasuk dividen), seketika langsung jeblok di awal tahun 2014, dan untuk mencegah penurunan lebih lanjut, BEI kemudian men-suspend saham DKFT.

Namun pada Maret 2016 kemarin, suspensi DKFT dibuka. Dan berhubung DKFT masih membukukan pendapatan Rp0 hingga Kuartal I 2016, maka tentu saja sahamnya langsung jeblok hingga ke posisi sekarang yakni 200-an. Namun jika anda jeli, maka anda tentu bertanya, apa alasan suspensi DKFT dibuka? Sebab jika pendapatan DKFT masih akan tercatat Rp0 untuk seterusnya, maka jangankan di-suspen, kenapa DKFT ini gak di-delisting aja sekalian? Sebab gak mungkin investor mau masuk ke DKFT ini kalau memang perusahaan gak menghasilkan pendapatan serta laba bersih sama sekali.

Dan jawabannya adalah, benar sekali, DKFT tidak akan membukukan pendapatan Rp0 untuk selamanya, karena sekarang perusahaan sudah on track untuk menyelesaikan pembangunan smelter-nya. Yup, meski terlambat beberapa tahun, namun DKFT pada akhirnya tetap akan memiliki smelter tersebut, dan akan mengekspor bijih nikel yang sudah diolah menjadi produk dengan nilai tambah.

Jadi begini ceritanya. Sejak tahun 2012, manajemen sudah berusaha untuk memulai pembangunan smelter, dimana pada tahun 2012 tersebut, DKFT memperoleh komitmen dari E-United Group asal Taiwan, untuk mendirikan perusahaan patungan untuk membangun smelter di Indonesia. Namun sayangnya setelah beberapa waktu, pihak E-United mundur daari perjanjian, dan smelter itu gak jadi dibangun. Jika saja pada tahun 2012 tersebut DKFT bersama E-United jadi membangun smelter, maka pada tahun 2014 seharusnya DKFT sudah bisa mengekspor produk hilir nikel, namun itu tidak terjadi.

Manajemen DKFT butuh waktu cukup lama untuk memperoleh mitra strategis lainnya, namun mitra strategis tersebut akhirnya diperoleh. Pada tahun 2015, DKFT bekerja sama dengan Macrolink Group asal China, untuk mendirikan perusahaan patungan PT Macrolink Omega Adiperkasa (MOA), dimana MOA ini akan membangun smelter di Morowali yang akan mengolah bijih nikel menjadi nickel pig iron (NPI), dimana NPI ini akan diekspor ke China. NPI adalah mirip seperti ferronickel yang diproduksi oleh Antam dan INCO, dan sama-sama digunakan untuk bahan baku pembuatan stainless steel, namun harga jualnya jauh lebih murah termasuk jika dibandingkan dengan nikel murni. Untuk tahun 2017, harga NPI diperkirakan US$ 880 per ton.

Dan per akhir tahun 2015, pembangunan smelter tersebut akhirnya sudah dimulai, dimana setelah resmi bekerja sama dengan Macrolink Group, manajemen DKFT sudah melakukan: 1. Menunjuk kontraktor engineering, procurement, and construction (EPC), 2. Menunjuk kontraktor piling dan civil engineering, 3. Ground breaking smelter, 4. Membangun pondasi bangunan smelter, 5. Membangun fasilitas pendukung seperti mess pekerja, dll, dan 6. Menimpor mesin-mesin dan suku cadang smelter dari China (impornya bebas bea masuk dan pajak, thanks Government!). Seluruh pekerjaan diharapkan akan tuntas pada Kuartal III 2016, dan smelternya akan sudah beroperasi secara komersial pada awal tahun 2017. Jadi, yap, jika semuanya lancar, maka DKFT akan kembali membukukan pendapatan pada awal tahun 2017 mendatang. Perusahaan sendiri akan mulai menggali bijih nikel lagi pada pertengahan tahun 2016 ini, untuk mensuplai kebutuhan bijih nikel ke smelternya nanti.
Pemandangan konstruksi pembangunan smelter milik DKFT di Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Klik gambar untuk memperbesar
Pertanyaannya sekarang, berapa kira-kira pendapatan yang akan diperoleh DKFT setelah nanti smelter-nya beroperasi? Well, di materi public expose-nya, manajemen DKFT jelas sekali menyampaikan proyeksi kinerja keuangan perusahaan untuk tahun 2017, dimana jika perusahaan bisa mengekspor 72,500 ton NPI (kapasitas produksi smelternya sendiri 100,000 ton per tahun), maka pendapatannya akan mencapai US$ 63.8 juta, dengan laba bersih US$ 11.2 juta, atau setara Rp149 milyar, sehingga ROE DKFT untuk tahun 2017 akan tercatat sekitar 15%.

Yang perlu dicatat disini adalah, untuk smelter yang beroperasi tahun 2017, itu baru smelter tahap I. Secara keseluruhan hingga tahun 2019, perusahaan akan membangun tiga smelter dengan total kapasitas produksi 300,000 ton NPI. Jadi pada tahun 2019, dengan asumsi harga jual NPI tetap, kurs Rupiah tetap, dan DKFT sukses mengekspor 250 – 300 ribu NPI, maka laba DKFT akan mencapai.. lebih dari Rp500 milyar. Poin lainnya yang menarik adalah, harga nikel sekarang ini sedang rendah-rendahnya yakni hanya US$ 8,500 per ton, turun drastis dibanding tahun 2012 yakni US$ 16,000 per ton, namun untuk tahun 2017 nanti diperkirakan harga nikel akan naik menjadi US$ 10,000 per ton. Dan jika harga nikel naik, maka praktis harga NPI juga akan ikut naik, sehingga laba bersih yang dihasilkan DKFT bisa lebih besar dari proyeksi diatas. Another point, DKFT akan menjadi satu dari sedikit perusahaan tambang bijih nikel di Sulawesi yang memiliki smelternya sendiri, sehingga perusahaan mungkin bisa membeli bijih nikel dari perusahaan tambang lain pada harga diskon (dan bagi perusahaan tambang lain tersebut, itu masih mending lah, daripada gak dapet duit sama sekali), dan itu akan menurunkan biaya pokok produksi NPI-nya.

Dan jika DKFT benar-benar sukses mencetak laba besar pada tahun 2017 – 2019 nanti, maka bagaimana dengan sahamnya? You know the answer.

Meski demikian, masih ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, smelter milik DKFT masih dalam proses pembangunan/konstruksi, dan tidak ada jaminan bahwa konstruksinya akan selesai tepat waktu. Kedua, kalaupun nanti smelternya beroperasi tepat waktu pada awal tahun 2017, maka biasanya volume produksinya tidak akan langsung mencapai 100,000 ton ataupun 72,500 ton seperti proyeksi diatas, melainkan akan tumbuh secara bertahap hingga seluruh kapasitas produksi yang 100,000 ton tersebut terutilisasi seluruhnya (untuk awal-awal, volume produksinya mungkin cuma 20 – 30 ribu ton dulu). Dan ketiga, harga jual nikel, seperti halnya komoditas lainnya, bisa turun tajam belakangan ini seiring dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi di China, sementara China masih menjadi satu-satunya tujuan ekspor NPI-nya nanti. Jadi meski diatas terdapat proyeksi bahwa harga nikel akan naik (dan demikian pula dengan harga NPI), namun bukan tidak mungkin kedepannya harga jual NPI justru akan turun hingga keuntungan yang diperoleh DKFT menjadi tidak sebesar yang diharapkan.

Intinya sih, meski DKFT ini memang sangat menarik jika nanti smelter-nya sudah beroperasi, namun untuk sekarang ini sebaiknya kita wait and see saja dulu, apalagi untuk tahun 2016 ini bisa dipastikan pendapatan perusahaan masih Rp0, sehingga bisa saja sahamnya turun lebih lanjut. Tapi dalam setahun kedepan, maka jangan lupa untuk melihat lagi DKFT ini.

PT. Central Omega Resources, Tbk (DKFT)
Rating Kinerja pada Kuartal I 2016: B
Rating saham pada 208: B

Buku kumpulan analisis saham-saham pilihan edisi Kuartal I 2016 sudah terbit! Dan anda bisa langsung memesannya disini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar