Sabtu, 28 November 2015

Analisis Saham Independen: Prospek IPO Kino Indonesia

By Teguh Hidayat

Sebagai salah satu perusahaan fast moving consumer goods (FMCG) yang cukup terkemuka di Indonesia, IPO Kino Indonesia (KINO) mungkin menarik perhatian investor, karena kita tahu bahwa industri FMCG biasanya menawarkan kinerja jangka panjang yang stabil. Dan KINO sendiri selama ini memiliki reputasi yang bagus sebagai perusahaan inovatif yang mampu meng­-create produk-produk baru, sementara pendirinya, Harry Sanusi, juga sudah sangat dikenal sebagai pengusaha inspiratif yang sukses mendirikan dan membesarkan KINO dari nol. Anyway, kita langsung saja.


Sejarah KINO dimulai pada tahun 1991, ketika Mr. Harry, yang baru saja lulus kuliah, memperoleh kepercayaan untuk mendistribusikan produk Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga milik PT Sinde Budi Sentosa. Mr. Harry kemudian segera menerapkan berbagai strategi marketing seperti memasang iklan, menawarkan produk dari toko ke toko, membuka cabang distribusi dll, dan hasilnya produk Larutan Penyegar milik PT Sinde menjadi populer di masyarakat. Lima tahun kemudian, yakni pada 1996, Mr. Harry mulai berpikir untuk juga menjadi distributor bagi produk lain, namun PT Sinde menginginkan agar Mr. Harry tetap fokus untuk mendistribusikan Larutan Penyegar. Ketidak cocokan ini pada akhirnya justru menyebabkan Mr. Harry putus kontrak dengan PT Sinde.

Setelah sempat menganggur hampir setahun, pada 1997 Mr. Harry memutuskan untuk tidak lagi hanya menjadi distributor, melainkan juga membuat produknya sendiri. Dan setelah melakukan riset selama berbulan-bulan, diputuskan untuk membuat produk permen jenis soft candy dengan rasa kopi, karena 1. Permen harga jualnya murah, sehingga pasarnya menjangkau seluruh lapisan masyarakat, 2. Berbeda dengan produk consumer lainnya seperti rokok, mie instan dll dimana loyalitas konsumen terhadap merk yang sudah ada sangat besar (sehingga akan sulit bagi pemain baru untuk memperkenalkan merk rokok atau mie instan yang baru), di segmen permen tidak ada loyalitas merk seperti itu, dan 3. Di Indonesia belum ada permen jenis soft candy rasa kopi, sehingga praktis tidak ada kompetitor.

Dan berbekal jaringan distribusinya yang sudah dibangun sejak 1991, produk permen yang diberi merk ‘Kino’ tersebut kemudian sukses besar. Masih di tahun 1997, Mr. Harry juga meluncurkan produk minuman bubuk dengan merk ‘Segar Sari’, dan makanan ringan ‘Snack It’. Karena ketiga produk tersebut memiliki harga jual yang murah dan terjangkau oleh kelompok menengah kebawah sekalipun, maka bisnis perusahaan justru melejit ketika Indonesia dilanda krisis moneter setahun kemudian. Pada tahun 1999, masih dengan semangat inovasi untuk menciptakan produk baru, Mr. Harry masuk ke bisnis toiletries dengan meluncurkan merk ‘Ovale’, sebuah produk pembersih wajah sekaligus pelembab dalam satu kemasan (sebelumnya, produk pembersih wajah dan pelembab biasanya dibuat terpisah). Ovale juga sukses besar, sehingga di tahun-tahun berikutnya diluncurkan juga merk-merk lain yang memiliki segmen pasarnya masing-masing, seperti Eskulin (parfum), Master (parfum pria), Eskulin Disney & Master Kids (parfum anak-anak), Sleek (pembersih bayi), Resik V (pembersih daerah kewanitaan), dan Ellips (perawatan rambut). Pada tahun 1999 ini pula, Mr. Harry mendirikan PT Kinocare Era Kosmetindo (sekarang PT Kino Indonesia), yang kemudian menjadi induk dari anak-anak usaha Grup Kino.

But the innovation never stops. Pada tahun 2004, Grup Kino masuk ke bisnis beverages dengan meluncurkan produk minuman penyegar ‘Cap Kaki Tiga’ (merk Cap Kaki Tiga sudah diakuisisi dari PT Sinde, sekarang PT Sinde memproduksi larutan penyegar cap badak), minuman energi ‘Panther’, minuman herbal ‘Panda’, dan jus ‘Tampico’. Terakhir, pada tahun 2012 lalu, Grup Kino juga masuk industri farmasi dengan meluncurkan obat batuk herbal dan balsem, keduanya dengan merk ‘Cap Kaki Tiga’.

Jadi selama KINO terus berinovasi dalam menciptakan produk-produk baru, ditambah skill Mr. Harry secara pribadi di dunia pemasaran dan pengembangan merk, maka selama itu pula kita akan melihat KINO terus berekspansi. Dalam hal ini penulis jadi ingat dengan raksasa teknologi asal Amerika Serikat, Apple Inc., yang menjadi salah satu perusahaan terbesar di dunia karena inovasi perusahaan dalam menciptakan produk-produk yang unik dan eksklusif, plus mereka juga sangat jago di bidang marketing. Dibanding raksasa consumer tanah air seperti Unilever, Indofood, atau Kalbe Farma, maka dengan aset Rp2.2 trilyun pada 30 Juni 2015, KINO terbilang masih relatif kecil, sehingga peluangnya untuk tumbuh lebih lanjut masih terbuka lebar. Dan kalau melihat track record kinerja perusahaan dalam lima tahun terakhir, dimana pendapatan serta labanya naik terus secara konsisten (just as expected), maka sahamnya bisa dipertimbangkan untuk investasi jangka panjang.

Lalu bagaimana dengan sahamnya?

Pada IPO-nya, KINO melepas 229 juta lembar saham ke publik pada harga Rp3,800 per saham, sehingga akan diperoleh dana Rp869 milyar. Nilai ekuitas KINO sebelum IPO adalah Rp823 milyar (per Kuartal II 2015), sehingga setelah IPO, ekuitas perusahaan akan menjadi kurang lebih Rp1.7 trilyun. Karena jumlah saham KINO setelah IPO adalah 1,429 juta lembar, maka market cap-nya pada harga saham Rp3,800 adalah Rp5.4 trilyun. Dengan demikian PBV-nya = 5.4 / 1.7 = 3.2 kali. Sementara dari sisi PER, hingga Kuartal II 2015, KINO membukukan laba Rp141 milyar, yang setelah dibagi dengan jumlah sahamnya setelah IPO, diperoleh annualized EPS Rp198 per saham. Maka PER-nya 3,800 / 198 = 19.2 kali.

Nah, dengan PBV dan PER yang jelas sekali diatas rata-rata pasar (dalam kondisi pasar yang normal, sebuah saham berfundamental baik biasanya dihargai pada PBV kurang lebih 2 kali dan PER 10 kali), maka IPO KINO ini sekilas tampak mahal. However, mengingat beberapa saham consumer juga dihargai pada PBV 5 kali atau PER 20 kali, sementara fundamental KINO sendiri memang sangat bagus, dan kalau kita ambil contoh IPO perusahaan consumer top lainnya yaitu Sido Muncul (SIDO), dimana sahamnya sempat naik dari harga perdana 580 hingga hampir saja tembus 1,000 bahkan meskipun valuasinya juga mahal sejak awal, maka mungkin harga 3,800 masih terbilang wajar bagi KINO.

Namun satu hal yang perlu diperhatikan: Penetapan harga nominal saham yang cukup tinggi (3,800) serta sedikitnya jumlah saham yang dilepas ke publik (hanya 229 juta lembar), kemungkinan akan menyebabkan saham KINO menjadi tidak likuid, sehingga praktis tidak akan begitu disukai oleh investor/trader. Jadi berbeda dengan IPO SIDO yang sahamnya sukses naik (meski toh pada akhirnya turun lagi), KINO mungkin tidak akan mengalami hal yang sama karena, dari sisi volume, jumlah saham KINO yang akan wara wiri di market tidak sampai seperlima saham SIDO.

Dan kalau bicara kekuatan merk, anda mungkin memperhatikan bahwa produk-produk KINO belakangan ini sering nongol di televisi, dan mungkin itu salah satu strategi agar IPO-nya laku, karena seingat penulis dulu SIDO juga sama begitu: Iklan Jamu Tolak Angin mendadak rame di tivi menjelang IPO. Nevertheless, meski perusahaan sangat kompeten dalam hal branding, namun pada akhirnya KINO masih merupakan pemain yang relatif baru di industri consumer di Indonesia, sehingga merk-merk milik KINO belum ada yang sepopuler ‘Tolak Angin’ milik Sido Muncul, ‘Lifebuoy’ milik Unilever, atau Indomie-nya Indofood. Dalam hal ini KINO mungkin lebih cocok dibandingkan dengan Tiga Pilar Sejahtera Food (AISA), yang juga merupakan perusahaan consumer kelas menengah, namun PBV AISA, ketika artikel ini ditulis, cuma 1.5 kali.

Kesimpulannya, meski mungkin KINO ini cocok untuk investasi jangka panjang, namun penulis lebih suka membeli sahamnya nanti di market, tentunya jika dikasih harga yang lebih affordable (dan 'nanti' ini bisa cukup lama dari sekarang, jadi santai saja), sama seperti SIDO yang ketika artikel ini ditulis, harganya sudah dibawah harga IPO-nya. Tapi anda tidak perlu khawatir karena untuk saat ini, seiring dengan masih rendahnya posisi IHSG, maka pasar masih menawarkan banyak pilihan saham lain yang valuasinya jauh lebih terdiskon. All you have to do is to choose carefully, karena fundamental dari sebagian besar saham-saham tersebut memang lagi tidak terlalu baik, tapi yah, yang bagus-bagus ada aja kok :)

PT Kino Indonesia, Tbk
Rating Kinerja pada Kuartal II 2015: AA
Rating Saham pada 3,800: BBB

Pengumuman: Penulis menyelenggarakan acara ‘Market Outlook – Peluang Investasi di Tahun 2016’ di tiga kota yakni Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Untuk bergabung, keterangan selengkapnya klik disini.

Buletin Analisis IHSG & Stock-Pick bulanan edisi Desember 2015 akan terbit tanggal 1 Desember mendatang. Anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi portofolio bagi member.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar