Rabu, 06 Juli 2016

Antara Medco, Newmont, dan Bumi Resources


By Teguh Hidayat

Pada hari Jumat, tanggal 1 Juli kemarin, manajemen Medco Energi Internasional (MEDC) mengumumkan bahwa perusahaan akan mengakuisisi PT Amman Mineral Internasional (AMI), dimana AMI sebelumnya telah mengakuisisi 82.2% saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) senilai US$ 2.6 milyar atau setara Rp34.3 trilyun berdasarkan kurs Rp13,200 per USD, sehingga dengan demikian MEDC nantinya akan menjadi pemegang saham tidak langsung di NNT. Tak lama kemudian saham MEDC langsung naik hingga ditutup di posisi 1,870, atau terbang 24.7% hanya dalam sehari. Nah, anda mungkin tertarik dengan kenaikan MEDC yang luar biasa tersebut, namun disini penulis akan mengajak anda untuk menggali lebih dalam lagi soal aksi korporasi MEDC ini, plus peluang investasi yang mungkin timbul. Okay, here we go!

Bagi anda yang belum tahu, Newmont Nusa Tenggara dulunya dimiliki oleh tiga pemegang saham yakni Newmont Corp (Amerika Serikat) sebanyak 45%, Sumitomo Corp (Jepang) 35%, dan perusahaan lokal bernama PT Pukuafu Indah sebanyak 20%. Kemudian, berdasarkan peraturan Pemerintah Indonesia, Newmont Corp dan Sumitomo sebagai perusahaan asing harus menjual/divestasi sebagian saham mereka hingga mereka maksimal memegang saham NNT sebanyak total 49% saja, alias tidak lagi menjadi pemegang saham mayoritas. Karena Newmont dan Sumitomo totalnya memegang 80% saham NNT, maka terdapat 31% saham NNT yang akan dilepas. Tadinya 31% saham NNT ini akan dibeli oleh Pemerintah, namun Pemerintah menyatakan tidak memiliki dana, sehingga 31% saham ini ditawarkan kepada (atau lebih tepatnya menjadi rebutan) beberapa grup konglomerasi di tanah air.

Dan yang sukses masuk adalah Grup Bakrie, dimana mereka bersama dengan Pemprov Nusa Tenggara Barat mendirikan perusahaan patungan dengan nama PT Multi Daerah Bersaing (MDB), dimana Grup Bakrie melalui Bumi Resources Minerals (BRMS) memegang 75% saham MDB, sementara 25% sisanya dipegang oleh Pemprov NTB. MDB kemudian mengakuisisi 24% saham NNT senilai US$ 850 juta, pada tahun 2009. Dengan demikian, BRMS secara tidak langsung memegang 18% saham di NNT.

Kemudian disinilah bagian yang ramenya: Sejak awal, Grup Bakrie sudah berniat untuk menguasai NNT secara penuh alias mengakuisisi 100% sahamnya, atau paling tidak sebanyak 51% sehingga mereka menjadi pemegang saham pengendali perusahaan, sama seperti ketika dulu mereka sukses mengakuisisi kepemilikan mayoritas di Arutmin, Kaltim Prima Coal (KPC), dan lainnya. Setelah MDB sukses mengakuisisi 24% saham NNT, maka masih terdapat sisa 7% saham NNT yang harus dilepas oleh Newmont Corp dan Sumitomo, namun lagi-lagi Pemerintah Pusat tetap tidak mau mengambil sisa saham yang 7% tersebut. MDB sebenarnya sudah mengajukan proposal untuk juga mengakuisisi sisa saham yang 7% tersebut, tapi kali ini Newmont Corp dengan tegas menolak untuk melepas sahamnya ke Bakrie, karena mereka tahu persis bahwa itu bisa berarti bahwa mereka akan kehilangan kontrol atas NNT. Meski Newmont Corp dan Sumitomo memang diharuskan untuk melepas saham NNT sehingga mereka tidak lagi menjadi pemegang saham mayoritas, namun mereka tetap menginginkan kontrol penuh atas perusahaan, dengan cara membuat pemegang saham lain memiliki saham NNT dalam jumlah yang lebih sedikit dari yang mereka miliki.

Jadi dengan demikian kuncinya sekarang terletak di pemegang saham NNT yang satunya lagi: PT Pukuafu Indah, yang dimiliki oleh pengusaha lokal bernamaJusuf Merukh. Mr. Merukh tidak memiliki keinginan untuk menjadi pemegang saham pengendali di NNT, namun posisi tawarnya menjadi sangat tinggi setelah Grup Bakrie mendekati beliau untuk mengakuisisi 20% saham NNT dari PT Pukuafu, sementara Newmont Corp juga terus mendekati Mr. Merukh agar jangan sampai menjual sahamnya ke Bakrie.

Dan sepertinya kali ini Newmont Corp-lah yang menang. Pada tahun 2010, sebuah perusahaan lokal bernama PT Indonesia Masbaga Investama (IMI)membeli 2.2% saham NNT senilai US$ 71.3 juta dari PT Pukuafu, sehingga PT Pukuafu tinggal memegang 17.8% saham NNT. Menariknya, IMI memperoleh dana US$ 71.3 juta tadi dari Newmont Corp. dalam bentuk pinjaman, sehingga boleh dikatakan bahwa Newmont Corp-lah yang membeli 2.2% saham NNT tersebut. Skenarionya, bahkan jika Grup Bakrie melalui MDB sukses menyapu habis 17.8% saham milik PT Pukuafu plus 7% saham yang menjadi jatah pemerintah, maka mereka totalnya hanya akan memegang 48.8% saham di NNT, sehingga Newmont Corp bersama dengan Sumitomo tetap akan memegang saham di NNT dalam jumlah yang lebih besar yakni49%, jadi otomatis mereka tetap akan memegang kendali atas NNT. Grup Bakrie sendiri tidak mungkin mengakuisisi 2.2% saham NNT yang dipegang oleh IMI, karena sejak awal IMI diback-up oleh Newmont Corp.

Jadi sejak saat itulah, Grup Bakrie berhenti ‘mengejar’ Newmont.

Waktu berlalu. Setelah tahun 2011, harga-harga komoditas termasuk batubara, emas, dan tembaga mulai turun, dan terus turun hingga Newmont Corp sendiri mulai kesulitan keuangan, demikian pula dengan Grup Bakrie. Kinerja keuangan NNT sendiri terus turun, dimana pada tahun 2014 perusahaan merugi US$ 114 juta (NNT merupakan perusahaan private, tapi kinerja keuangannya bisa dilihat di laporan keuangan BRMS), dan pada tahun 2014 itu pula, Bumi Resources (BUMI) sebagai induk dari BRMS mulai bermasalah dengan utang-utangnya, dimana mereka mau tidak mau harus melepas beberapa asetnya untuk membayar utang. Dan karena Grup Bakrie sejak awal sudah tidak mungkin menguasai NNT secara penuh, maka 24% saham NNT yang mereka miliki menjadi salah satu aset yang dipertimbangkan untuk dijual. Dijual ke siapa? Ya ke siapapun yang menawar pada harga terbaik.

Hingga akhirnya pada tanggal 30 Juni 2016 kemarin, BRMS melalui MDB sebagai anak usahanya setuju untuk menjual 24% saham NNT ke perusahaan bernama PT Amman Mineral Internasional (AMI), dimana AMI sebelumnya juga sudah mengakuisisi saham NNT yang dimiliki oleh Newmont Corp., Sumitomo, dan IMI, dan AMI ini pada gilirannya akan diakuisisi oleh MEDC. Namun berdasarkan pengumuman dari manajemen BRMS, penjualan saham NNT tersebut baru akan efektif setelah nanti memperoleh persetujuan dari Pemerintah, kreditur MDB (karena MDB membeli Newmont pake utang), dan persetujuan lain yang dipersyaratkan dalam peraturan pasar modal. Intinya, BRMS baru berada pada tahap setuju untuk menjual saham NNT ke Grup Medco, namun soal harganya berapa dll, itu masih dalam tahap negosiasi.

Sementara kalau kita pakai pengumuman dari MEDC sebagai acuan, dimana MEDC akan mengakuisisi AMI yang memegang 82.2% saham NNT senilai US$ 2.6 milyar, dan kita asumsikan bahwa AMI membeli saham NNT dari Newmont Corp, Sumitomo, IMI, dan MDB pada harga yang sama, maka BRMS sebagai pemegang efektif 18% saham NNT akan memperoleh dana US$ 570 juta.

Peluang di saham MEDC? Atau Malah BRMS?


Jika benar bahwa Medco membeli NNT dari BRMS pada harga US$ 570 juta, maka artinya BRMS menjual NNT dalam posisi rugi, karena seperti yang sudah disebut diatas, BRMS melalui MDB membeli 24% saham NNT dengan nilai US$ 850 juta pada tahun 2009, dimana BRMS sebagai pemegang 75% saham di MDB harus keluar dana US$ 637.5 juta (850 juta x 3/4). Di lap keu BRMS sendiri jelas disebutkan bahwa nilai saham mereka di Newmont sudah tumbuh karena akumulasi laba bersih menjadi US$ 1 milyar.

Jadi jika BRMS hanya menerima pembayaran US$ 570 juta, maka di laporan laba ruginya akan terdapat akun ‘rugi atas pelepasan investasi’, yang menyebabkan BRMS bukannya mencatat profit dari penjualan NNT ini, melainkan justru rugi, dimana meski BRMS memperoleh dana kas senilai US$ 570 juta, namun perusahaan juga kehilangan asetnya senilai US$ 1 milyar. However, sebelum menjual sahamnya di Newmont, Grup Bakrie juga pernah beberapa kali menjual asetnya untuk membayar utang, biasanya pada posisi untung, dimana harga jual asetnya lebih tinggi dibanding harga ketika dulu mereka membeli aset tersebut. Jadi dalam hal ini penulis ragu jika Grup Bakrie benar-benar melepas sahamnya di Newmont pada harga obralan, meski disisi lain bukan tidak mungkin pula BRMS melepas Newmont pada harga ‘berapa sajalah, yang penting laku!’, mengingat perusahaan punya utang jangka panjang yang akan jatuh tempo dalam waktu kurang dari setahun, senilai hampir US$ 500 juta.

Tapi entah itu BRMS menjual NNT pada harga diskon atau harga premium, yang jelas MEDC mengakuisisi 82.2% saham NNT pada harga US$ 2.6 milyar. Nilai ekuitas NNT sendiri tercatat US$ 3.06 milyar pada akhir tahun 2015, yang setelah ditambah laba bersih sebesar US$ 61 juta pada Kuartal I 2016, maka ekuitas tersebut menjadi US$ 3.12 milyar. Ini artinya MEDC membeli NNT pada PBV 1.01 kali saja, alias sangat murah mengingat NNT mulai kembali membukukan profit sejak tahun 2015 kemarin yang kemudian berlanjut pada tahun 2016 ini, dan nilai profit itu bisa lebih besar lagi jika kedepannya harga emas terus melanjutkan trend kenaikannya yang sudah terjadi sejak enam bulan lalu. Jadi meski MEDC mengakuisisi Newmont menggunakan dana pinjaman dari tiga bank (tentu saja) yakni Bank Mandiri, BNI, dan BRI, namun keuntungan yang dihasilkan akan jauh lebih besar dibanding bunga yang harus dibayar perusahaan ke bank.

So, berdasarkan analisa diatas, maka cukup jelas bahwa peluangnya terdapat di saham MEDC, bukan BRMS apalagi BUMI. MEDC sendiri pada harga 1,870 masih mencatat PBV 0.7 kali, jelas masih murah, meski juga perlu dicatat bahwa sejak jaman baheula MEDC ini tidak pernah cocok untuk investasi long term karena profitabilitasnya yang amat sangat kecil sebagai perusahaan minyak, bahkan ketika dulu harga minyak sedang tinggi-tingginya di level US$ 100 per barel (kita pernah membahasnya di tahun 2010 di artikel ini, waktu itu sahamnya berada di level 3,000). Anyway, MEDC gak bisa disebut sebagai perusahaan jelek juga, sehingga kalau ada berita bagus seperti ini maka biasanya sahamnya menawarkan peluang untuk trading jangka menengah, terutama karena berita soal akuisisi Newmont ini biasanya bakalan ‘awet’ dalam beberapa bulan kedepan, mengingat MEDC baru sebatas menyatakan setuju untuk mengakuisisi Newmont, sementara penyelesaian akuisisinya masih harus menunggu proses persetujuan Pemerintah dan RUPS (jadi kedepannya akan keluar lagi berita dengan judul ‘Medco resmi menuntaskan akuisisi Newmont’ atau semacamnya).

Namun karena seperti yang sudah disebut diatas, MEDC ini kurang cocok untuk long term (kecuali jika nanti laba MEDC melompat karena tambahan laba dari Newmont, tapi bahkan kalaupun itu terjadi, maka terjadinya masih lama), maka anda harus tetap hati-hati, apalagi belakangan ini harga minyak dunia mulai turun lagi. Lalu bagaimana dengan BRMS? Well, meski penulis tidak melihat bahwa kinerja keuangan perusahaan akan improve bahkan setelah nanti proses akuisisi Newmont ini tuntas, namun sahamnya kemungkinan tetap akan ‘main’ karena cerita soal Newmont ini, dimana kalau dia terbang maka kenaikannya bisa jauh lebih tinggi dibanding ketika kemarin MEDC naik 24% sekalipun (ingat waktu kemarin BUMI naik dari 50 ke 82, alias naik 64%, hanya dalam dua hari???). Tapi yah, kalau MEDC ternyata malah turun sampai 1,580 (itu support teknikalnya), maka paling tidak anda masih bisa cut loss. Sedangkan kalau BRMS mati di gocap? Ya wassalaaaam! Jadi dalam hal ini, meski BRMS mungkin menawarkan potensi profit yang lebih tinggi, namun risiko kerugiannya juga lebih tinggi lagi. So, your call!

Catatan: TeguhHidayat.com tetap online selama libur lebaran, jadi email-email yang masuk tetap akan dibalas secepatnya.

Info: Buletin Analisis IHSG & Stock Pick Saham Pilihan edisi Juli 2016 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini. Gratis konsultasi saham via email untuk member, langsung dengan penulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar