Sabtu, 03 Desember 2022

Value Engineering.

Ada teman bisnis asuransi. Dia sudah lakukan puluhan tahun. Tetapil hasilnya tidak membuat dia menjadi financial freedom. Ada juga teman bisnis suplier , usahanya berkembang tapi tidak membuat dia bisa meningkatkan laba untuk membuat dia financial freedom. Ada juga teman jadi pegawai sampai lini GM tapi tidak juga membuat dia financial freedom. Mereka semua melalui hidupnya lebih dari separuh usianya tapi masih berkutat tentang banyak kawatir. Padahal sikap hidupnya dibangun diatas prinsip secure way atau cara aman. Justru membuat mereka tidak merasa aman. Menurut saya teman teman itu tidak salah. Karena mereka membangun road block nya sendiri bahwa hanya itu yang dia bisa lakukan. Dia stuck karena ulahnya sendiri. Ada teman saya di China sebagai insinyur kimia dengan gaji 6 digit sebagai tenaga inti peneliti di lab TNC. Satu saat dia mengundurkan diri untuk jadi pengusaha inovative dan kreatif. Dia sadar dia tidak paham bisnis, Diapun belajar cara mengelola bisnis dari banyak buku dan terus berproses. Learning by doiing. 5 tahun kemudian dia sudah punya pabrik diatas USD 100 juta. 5 tahun kemudian perusahaannya sudah listed di Bursa Shenzhen. Kini di usianya 50 tahun lebih dia bisa menikmati financial freedom. Artinya dia tidak perlu kawatirkan soal financial walau tidak membuat dia kaya raya dengan atribut hebat. Apa yang dilakukan teman saya di china itu bagian dari Value Engineering. Ilmu ini awalnya diperkenalkan oleh AS seusai perang dunia kedua dan kemudian dikembangkan ditahun tujuh puluhan, dimana pada waktu AS sedang dilanda krisis ekonomi yang parah. Awalnya value engineering di kembangkan di bidang kontruksi tapi kemudian berkembang meningkatkan value business dan social value engineering. Ilmu ini berhasil menciptakan new paradigm dalam bersikap, seperti Jepang dan Korea, china salah satu contoh bagaimana value engineering berhasil menjadikan negara itu unggul dalam persaingan. Value engineering sebagai disiplin ilmu merupakan reposisi terhadap value yang selama ini diyakini. Ringkasnya ini adalah ilmu yang mencoba merekayasa sikap untuk menghasilkan value. Ada empat hal yang menghambat ( block ) orang berkembang atas potensi yang dia miliki. Keempat penghambat ( block ) itu adalah pertama , emotional block. Kedua, Perceptual Block, Ketiga Habitual Block dan yang terakhir, Culture block. Emotional block. Adalah satu sikap yang menganggap sesuatu yang belum jelas dan diperkirakan akan mengganggu kenyaman yang sudah ada ( status quo) akan disikapi secara ego untuk ditolak. Perceptual block. Adalah satu sikap bahwa persepsi orang lain salah dan hanya persepsi sendiri yang benar. Akibat sikap ini membuat orang hidup otoriter terhadap kebenaran subjective. Habitual Block adalah suatu sikap yang lebih nyaman dengan kebiasaan yang ada dan menolak sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan. Culture Block. Adalah sikap budaya yang turun temurun sebagai tradisi yang diyakini. Sikap ini akan membuat orang menutup diri dari segala pengaruh budaya dari luar. Cenderung protective dan curiga. Padahal tidak semua budaya luar itu salah dan tentu tidak semua budaya luar itu benar. Sikap ini tidak pernah bisa menilai salah atau benar kecuali dirinya sendiri. Saya analogikan masing masing block ini. Emotional block. Secara emosi anda lebih aman menjadi pegawai. Ini tentu dasarnya Perceptual Block bahwa persepsi anda bekerja itu secure daripada bisnis. Dan tentu didukung oleh Habitual Block keluarga, bahwa semua anggoga keluarga anda memang hidup sebagai pegawai. Akibatnyat terbentuklah Culture block , atau secara budaya bekerja itu jalan hidup anda. Kalau ini jadi mindset bagi sebagain besar rakyat Indonesia maka negera kelelahan karena harus menghadapi beban sosial akibat jumlah angkatan kerja terus bertambah sementara lapangan kerja berkurang karena lemahnya semangat wirausaha. Keempat hal tersebut menjadi road block tercapainya new paradigm. New paradigm ini juga dapat kearah positip dapat pula kearah negative. Tergantung bagaimana kita bersikap. Karena tidak selalu yang block itu buruk dan tidak selalu value baru yang datang pasti benar. China melihat system komunisme harus dilakukan value engineering untuk menjadikan bangsa china mampu bersaing dan berproduksi. China berhasil sesuai value yang diinginkannya tanpa merubah komunisme. Jepang tidak melihat konglomerasi sebagai kekuatan untuk bersaing dan tidak yakin keberhasilan industri diukur dengan dengan laba perunit. Value engineering dilakukan ; small medium enterprises meluas dan laba collective terbentuk. Kesinambungan produksi tercipta. Kompetisi terbentuk hingga melahirkan Efisiensi dan efektifitas. Jadi intinya adanya kemauan berubah dengan nilai baru.. by Erizeli Jeli Bandaro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar