Kamis, 01 Desember 2022

Kolonialisasi era IT

by Erizeli Jeli Bandaro Tahun 2017 staf SDM kantor saya di China memperlihatkan aplikasi algoritma profil seseorang berdasarkan akun sosial media. Dari aplikasi itu hanya dalam hitungan 1 menit bisa diketahui attitude seseorang seperti malas, passion, cerdas, penyendiri, intropet, hipokrit, kreatif dll. Masing masing ada score nya. Tingkat error 1%. Bahkan setelah itu, ada aplikasi menganalisa kinerja perusahaan. Darimana datanya? Dari data online tingkat penggunaan listrik ruang kantor dan pabrik. Penggunaan air di pabrik juga dapat dianalisa. Jadi tidak ada yang tertutup. Semua serba terbuka. Bahkan di china pada waktu terjadi lockdown di Wuhan, pemerintah china menggunakan sosial media untuk mengetahui pergerakan mereka, sikap psikis mereka. Dari analisis algoritma itu, pemerintah mengendalikan emosi mereka lewat konten sosial media dengan menggunakan jutaan akun palsu. Sehingga masyarakat Wuhan punya penilaian positif terhadap pemerintah dan mereka bersatu untuk semangat “ Wuhan pasti menang “ Donald Trump pada Pemilihan Presiden 2016 lalu menggunakan algoritma komputer untuk mempengaruhi pemilih akunsosial, itu dikenal dengan istilah Cambridge Analytica. Konsultan analisa, Strategic Communication Laboratories (SCL) dibayar untuk melakukan itu. Sehingga team kampanye Trumps bisa "menemukan pemilih dan mengarahkan mereka untuk beraksi".Itulah kehebatan kampanye berbasis data dan diperkuat sebuah tim yang terdiri dari para ilmuwan data dan psikolog prilaku. Trumps yang bukan politisi bisa menang. Padahal Trumps 8 kali bangkrut berlindung dibalik UU pailit. Namun bagi AS ulah Trumps itu dianggap pelanggaran etika, termasuk facebook dan YouTube yang ikut membocorkan data pemilik akun. Itu menjadi skandal yang memalukan bagi facebook. Tapi tidak bisa menganulir Trump sebagai presiden. Bahkan chaos paska Pilpres Trumps kemarin dikendalikan oleh algoritma komputer. Mendorong orang melakukan aksi demo anarkis. Selama pandemi covid 19, ada 16 miliar konten tentang covid. Yang sehingga mampu membentuk persepsi penduduk planet bumi kepada satu arah saja, mampu mengalahkan persepsi tentang Tuhan yang sudah terbentuk ratusan abad. Mampu mengubah persepsi nasionalisme yang diperjuangkan dengan darah. Semua pemilik sosial media seperti facebook, YouTube, tweeter, instagram dan lain lain dan penyedia platform makelar place pasti terhubung dengan satu group hedge Fund player, yang salah satu bagian dari kekuatan elite financial global. Itu sebabnya china melarang keberadaan akun sosial media itu. China punya sendiri akun sosial media dan hanya pemerintah yang bisa mengakses dan mengendalikannya. Mengapa ? Teman saya di china berkata “ Di era digital, sistem pertahanan nasional tidak bisa dilepaskan dari kekuatan sistem IT”. Saya ingat platform Covid Indonesia menggunakan Google platform cloud. Tentu pemilik platform memiliki akses penuh terhadap data orang Indonesia. Apapun bisa mereka gunakan untuk kepentingan strategis maupun politik. Secara IT kita memang tidak lagi berdaulat. Maka dalam aspek apapun kita tergantung asing. Entah bagaimana cara berpikir elite politik terhadap amanah kemerdekaan Indonesia. ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar