Rabu, 18 Desember 2019

30 MENIT SEBELUM TIDUR

Saya ini penulis amatir.  Banyak salah ketik.  Salah redaksional.  Gaya bahasanya nggak bagus.  Nggak sesuai EYD.  Nggak komersial.  Banyak typo sana-sini.

Menulis bagi saya hanya salah satu “me time” saya setelah seharian menggarap ladang.  Lelah memacul dan bertemu beragam orang di ladang.  Yang kemudian saya tuliskan pengalaman saya sebelum saya tidur malam.  Hanya 30 menit tidak sampai.  Selesai satu diary satu topic kecil.  Kadang tidak sempat membaca ulang atau menge cek speling yang sering salah ketik.  Lalu saya up load ke status sebagai “buku harian”.

Setelah itu, saya tidak pernah membacanya lagi. Karena sudah menyusul up load an tulisan baru lagi yang lainnya. Biasanya diselingi video.  Komentar sahabat pun jarang saya baca.  Mohon maaf untuk hal ini ya.  Saya kurang teliti dan tidak sempat.  Waktu saya hanya sedikit sekali untuk ada di sosmed.

Rata-rata panjang tulisan saya 3-4 lembar folio.  Lebih dari itu pasti saya bilang kepanjangan.  Dan saya-nya kecapean.  Lah saya ini khan bukan penulis.  Saya nggak passion-passion amat menulis itu.  Hanya peristiwa keseharian saya saja kebetulan banyak yang bisa ditulis.  Itu sangat saya syukuri karena kehadiran orang disekeliling saya lah tulisan menjadi terlahir.

Karena peristiwa dan keputusan-keputusan harian yang kecil-kecil lah menjadi sebuah catatan diary saya.  Yang jadi masalah saya lainnya lagi, saya ini bukan pembaca.  Dulu saya suka baca, sekarang saya tidak sempat.

Saya tidak baca Koran, tidak baca news, saya nonton berita TV sekilas.  Karena itu, tulisan saya kalau kaum akademisi membaca adalah cetek sekali ilmunya si Sontoloyo ini.

Dan memang benar, orang saya ini nggak ada referensi buku atau keilmuan dari manapun.  Semuanya hanya ilmu kagetan.  Ilmu “smart street” doang.

Ada satu prinsip yang saya bawa dari dulu dalam urusan menulis. Yaitu karena saya ini bodo dan Sontoloyo, maka saya harus berkumpul sama banyak orang pinter.  Saya harus berkumpul sama orang yang lebih sukses dari saya.  Saya berkumpul hanya dengan orang yang networknya lebih luas dari saya. Saya harus ngumpul dengan orang yang memiliki “power”.  Saya harus berkumpul dengan orang yang banyak duitnya.  Sehingga agar ilmu dan informasi tidak hilang ya saya tulis.

Untuk itu, kenalan saya tidak saya batasi.  Tapi, kalau teman ngumpul saya pilih.

Curang banget ya saya itu. Kalau istilah Cinta-Dian Sastro, apa yang saya lakukan itu JAHAT.

Abis gimana dong.  Orang saya ini bodoh kok.  Nggak pinter.  Masih harus banyak belajar.  Saya jadi ngumpul sama orang-orang yang “lebih segalanya” dari saya jadinya.  Itu kalau prinsip belajar.

Kalau prinsip bisnis bagaimana?  Ada juga sih jurus saya.  Salah satunya, saya tidak akan berbisnis dengan orang yang “kenyang”.

Bagi saya, orang yang kenyang itu bukan mitra yang baik. Orang yang kenyang itu sudah padam apinya. Orang kenyang itu, orang yang sudah umuran. Yang ia menyatakan sudah ingin pension karena semua sudah didapat.  Orang kenyang itu anak orang kaya, yang dari dulu nggak tahu rasanya lapar dan hingga saat ini masih makan pakai "golden plate & silver spoon”.  Orang nggak tahu susah.

Orang yang kenyang itu pejabat yang sudah nyaman dipuncak posisinya.  Atau profesional yang merasa sudah nyaman akan karirnya.  Atau orang biasa saja tapi nggak mau ngapa-ngapain lagi. Dia mungkin tidak sukses banget.  Biasa saja.  Tapi nggak ada apinya lagi.  Sudah nggak ada baranya lagi.  Gerah saya deal sama orang seperti ini.

Sebaliknya, kalau bertemu dengan yang lapar... Wah ini prioritas saya.  Orang lapar itu orang yang buas.  Ini yang saya suka.  Bukan saja dia masih berkekurangan lalu gigih, tapi orang yang sudah sangat berkelebihan masih saja lapar.  Ini orang pasti orang kreatif. Pasti orang out of the box.  Pasti seorang pejuang kemakmuran yang “militant”.  Dia pasti besar appetite nya.  Ini yang saya suka.

Bersama orang seperti ini, melihat dunia selalu optimis, bergairah, bersemangat. Selalu banyak ide, selalu mencari sesuatu yang baru. Dunia menjadi mainan yang mengasyikan baginya.
Dunia benar benar diletakan di tangan, bukan di hatinya. Di hati itu tempat khusus untuk yang lain lagi. Untuk masalah spiritual. Dan spiritual adalah masalah pribadi.


Jadi, banyak khan bahan tulisan?  #peace


Penulis : Mardigu Wowiek Prasantyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar