Selasa, 23 Februari 2016

Penjelasan Penurunan NIM Perbankan

by Teguh Hidayat

Kamis kemarin, tanggal 18 Februari, komisioner otoritas jasa keuangan (OJK), Muliaman Hadad, mengatakan bahwa net interest margin (NIM) perbankan di Thailand tercatat 3 – 4%, sementara NIM di Indonesia lebih tinggi. Agar lebih comparable dengan negara-negara lain dikawasan ASEAN, maka NIM bank-bank di Indonesia akan diarahkan hingga menjadi 3 – 4% juga, dimana OJK akan meminta bank untuk menurunkan bunga kreditnya. Sehari kemudian Menteri BUMN, Rini Soemarno, juga menghimbau kepada bank-bank BUMN untuk menurunkan NIM-nya menjadi sekitar 4% dengan cara melakukan konsolidasi seperrti berbagi sistem IT dan mesin ATM, sehingga menurunkan biaya operasional, dan alhasil kinerja bank-bank tersebut menjadi lebih efisien.

Terlepas dari detail pernyataan dari kedua tokoh diatas, namun judul pemberitaannya adalah bahwa ‘NIM Perbankan akan Dibatasi’, dimana oleh orang awam maka itu terdengar seperti ‘keuntungan bank akan dibatasi’. Alhasil saham-saham perbankan langsung jeblok dan itu menyebabkan IHSG turun 1.7%, Jumat lalu.

Lalu apa sih yang dimaksud dengan NIM? Bisakah NIM dibatasi? Bagaimana caranya? Kenapa dan apa tujuannya sehingga NIM bank-bank di Indonesia harus dibatasi? Dan jika NIM sebuah memang bisa diturunkan sampai dibawah 4%, maka bagaimana dampaknya terhadap kinerja bank yang bersangkutan?

Pengertian NIM

Net interest margin, atau margin bunga bersih, adalah perbandingan antara pendapatan bunga bersih/net interest income(pendapatan bunga/interest income dikurangi beban pokok/cost of credit), dengan nilai aset produktif. Pendapatan bunga berasal dari kredit yang disalurkan, simpanan pada obligasi pemerintah, sertifikat Bank Indonesia, dll. Sementara beban pokok merupakan biaya yang dikeluarkan bank untuk membayar bunga deposito, bunga pinjaman, dll.

Dan yang dimaksud dengan aset produktif adalah aset yang dikelola hingga menghasilkan bunga tadiistilahnya net bearing assets. Misalnya, sebuah bank asetnya Rp100 milyar. Dari total aset tersebut, Rp80 milyar diantaranya disalurkan kesana kemari dalam bentuk kredit, surat berharga, obligasi, dll, sehingga menghasilkan pendapatan bagi bank berupa bunga. Nah, Rp80 milyar inilah yang disebut dengan aset produktif.

Jika bank tersebut mencatat pendapatan bunga Rp5 milyadalam setahun, kemudian setelah dikurangi beban pokok hasilnya adalah Rp4 milyar, maka NIM-nya adalah 4 / 80 = 0.05 = 5%. Data terakhir dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa rata-rata NIM perbankan di Indonesia adalah 4.23%.

Nah, dari sini kita bisa melihat faktor-faktor yang menentukan NIM, yakni: 1. Nilai pendapatan bunga, 2. Nilai beban pokok, dan 3. Nilai aset produktif. Seperti halnya perusahaan manapun di seluruh dunia, bank-bank di Indonesia tentunya selalu fokus pada upaya untuk meningkatkan pendapatan hingga sebesar-besarnya, dan menekan beban pokok hingga serendah-rendahnya (sementara nilai aset seiring waktu akan meningkat dengan sendirinya). Intinya adalah menaikkan pendapatan dan mengurangi pengeluaran. Dan bank yang berhasil dalam upaya tersebut akan mencatat NIM yang lebih tinggi dibanding bank lain yang kurang berhasil, dimana semakin tinggi NIM sebuah bank, maka artinya semakin efisien bank tersebut dalam beroperasi. Di Indonesia, bank dengan NIM terbesar adalah Bank BTPN dengan NIM 9.9% pada Kuartal III 2015.


Jadi kalau NIM mau diturunkan, maka caranya dibalik: Pendapatan bank ditekan hingga serendah-rendahnya, atau nilai beban pokok-nya yang dinaikkan. Tapi mungkinkah bank melakukan itu? Menaikkan pengeluarannya sendiri? Menteri Rini sendiri menghimbau kepada bank-bank BUMN untuk melakukan konsolidasi untuk menurunkan biaya operasional sehingga kinerja perusahaan menjadi lebih efisien. Tapi kalau caranya begitu, maka NIM-nya justru akan naik, sehingga dalam hal ini pernyataan Menteri Rini menjadi absurd (tapi rasanya gak mungkin kalau Menteri Rini gak ngerti apa itu NIM, jadi mungkin ini cuma karena wartawannya salah kutip).

Sementara pernyataan Muliaman Hadad bahwa OJK akan meminta bank untuk menurunkan bunga kreditnya sehingga NIM-nya akan turun, itu baru lebih masuk akal, karena jika bunga kredit turun sementara omzetnya tetap, maka pendapatan bunga bank akan turun. Dan jika beban pokoknya tetap, maka NIM-nya akan turun. Namun tetap saja:Bukan seperti itu cara untuk menurunkan NIM perbankan. Lebih lanjut akan dijelaskan dibawah.

Kenapa NIM bank harus turun? Apa tujuannya?

Dalam perekonomian suatu negara, perbankan memiliki peran sebagai ‘jembatan’ yang menghubungkan antara pemilik dana dengan orang/perusahaan yang membutuhkan dana tersebut untuk mengembangkan usaha. Dalam perannya tersebut, bank memungut bunga dari penyaluran kredit/pinjaman, dan membayar bunga ke pemilik dana, katakanlah dalam bentuk bunga deposito. Selisih antara bunga kredit yang tentu saja lebih besar dari bunga deposito, itulah yang kemudian menjadi pendapatan bank. Semakin besar selisihnya, maka semakin besar pula pendapatan bank tersebut.

Nah, terkait dengan penyaluran kredit dan pinjaman ke sektor-sektor usaha, jika bank memungut bunga terlalu besar maka itu akan membebani sektor usaha itu sendiri, dan pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi. Jadi jika tujuannya adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka suku bunga bank bisa diturunkan. Caranya? Dengan menurunkan BI Rate, dimana itu merupakan domain dari BI (hanya BI yang bisa menurunkan BI Rate). Dengan turunnya BI Rate, maka tidak hanya bunga kredit, tapi bunga deposito juga bisa diturunkan, atau dengan kata lain, meski pendapatan bunga bank akan turun, tapi beban pokoknya juga akan turun, dan alhasil NIM-nya tetap.

Hanya memang, kalau BI Rate terus diturunkan hingga ke level yang sangat rendah, misalnya dibawah 5% (terakhir masih 7%), maka NIM perbankan akan ikut turun. Ilustrasinya sebagai berikut: Ketika BI Rate 7%, maka sebuah bank menetapkan bunga pinjaman 12%, dan bunga deposito 6%, sehingga margin-nya (NIM-nya) akan tercatat 12 – 6 = 6%. Setelah BI Rate turun menjadi 4%, maka bunga pinjaman mungkin turun menjadi 9% (dari 12 ke 9, berarti turun 25%), dan bunga deposito ikut turun tapi hanya menjadi 4.5% (dari 6 ke 4.5, berarti turun 25% juga. Ngerti nggak?), sehingga NIM-nya menjadi 9 – 4.5 = 4.5%, atau lebih rendah dari dibanding NIM 6% tadi.

Namun catat: BI Rate hanya bisa diturunkan hingga ke posisi yang serendah-rendahnya kalau perekonomian sudah sangat efisien, yang ditandai dengan rendahnya inflasi. Ini artinya jika BI Rate turun tajam dan itu menyebabkan NIM bank juga turun, maka penurunan NIM tersebut sama sekali tidak berdampak buruk bagi bank yang bersangkutan, karena disisi lain tingkat inflasi juga turun drastis. Sebab, inflasi adalah juga seperti cost dalam operasional bank, dimana jika sebuah bank mencatatkan margin bunga 6% pada tahun tertentu namun tingkat inflasi di tahun tersebut tercatat 7%, maka sejatinya bank tersebut merugi.

Jadi kenapa NIM di Thailand lebih rendah dibanding Indonesia? Karena inflasi disana cuma 0 – 1%, terakhir bahkan minus 0.5%, atau jauh lebih rendah dibanding Indonesia yakni 4.1%. Dan suku bunga bank sentral disana juga cuma 1.5%, dibanding BI Rate yakni 7%. Yang harus dipahami disini adalah, rendahnya NIM perbankan di Thailand itu bukan berarti bahwa perbankan disana lebih baik dibanding disini, tapi bahwa perekonomian disana secara keseluruhan lebih efisien dibanding di Indonesia.

Okay, jadi balik lagi ke pertanyaan diatas, kenapa NIM bank harus turun? Apa tujuannya? Jawabannya bukan NIM bank-nya yang langsung diturunkan begitu saja, katakanlah dengan memaksa bank menurunkan pendapatan dan menaikkan beban pengeluaran, tapi bank-bank di Indonesia akan diberi insentif tertentu (oleh OJK) sehingga mereka bisa menurunkan bunga kredit sesuai dengan penurunan BI Rate (BI Rate juga mulai turun dalam beberapa bulan terakhir). Dan itu diharapkan akan menstimulus sektor-sektor usaha dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika disisi lain tingkat inflasi juga bisa ditekan minimal di level saat ini (data inflasi terakhir, yakni 4%, itu terbilang bagus mengingat rata-rata inflasi di Indonesia tercatat 6 – 7% per tahun), maka BI Rate bisa terus turun, dan lambat laun otomatis NIM perbankan akan turun dengan sendirinya, tentunya tanpa mengganggu kinerja perbankan itu sendiri karena disisi lain tingkat inflasi memang sudah sangat rendah.

Kesimpulan

Kesimpulannya, turunnya rata-rata NIM perbankan hanyalah salah satu indikator, diluar indikator-indikator lain seperti meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan rendahnya inflasi, bahwa ekonomi Indonesia membaik. OJK atau bahkan BI sekalipun tidak bisa langsung menetapkan bahwa rata-rata NIM perbankan di Indonesia adalah maksimal sekian persen, sama seperti mereka tidak bisa menetapkan berapa persen tingkat pertumbuhan inflasi dan inflasi (hanya bisa mentargetkan), karena NIM tersebut akan secara otomatis mengikuti perkembangan fundamental ekonomi di dalam negeri, dimana kalau perkembangannya bagus maka NIM-nya akan turun, tapi kalau nggak ya nggak.

Pertanyaan terakhir, jika nanti NIM sebuah bank turun sampai dibawah 4%, maka bagaimana dampaknya terhadap kinerja bank yang bersangkutan? Well, perhatikan kata kuncinya diatas: rata-rata NIM di Indonesia akan turun kalau perekonomian sudah lebih baik/lebih efisien dibanding sebelumnya, jadi penurunan NIM tersebut tidak berdampak negatif apapun. Ibaratnya seperti gaji anda turun dari Rp10 juta menjadi Rp9 juta, tapi harga-harga beras (dan kebutuhan sehari-hari lainnya) juga turun dari Rp10,000 menjadi Rp7,000 per kilo. Nah, dengan demikian maka gaji Rp9 juta tadi sejatinya justru lebih besar bukan? Lain ceritanya jika NIM sebuah bank turun sendiri karena meningkatnya beban pokok atau turunnya omzet kredit, sementara inflasi masih tinggi dll, maka barulah penurunan NIM itu merupakan hal yang buruk bagi bank tersebut.

Lalu kenapa saham-saham perbankan malah turun ketika keluar statement dari OJK dan Menteri BUMN bahwa ‘NIM perbankan akan diturunkan hingga 3 – 4%’ ini? Ya karena NIM dari bank-bank besar seperti BCA, Mandiri, BRI, itu semuanya diatas 4%, sementara bank-bank keciiiil seperti Bank MNC (BABP), atau Bank Mutiara (BCIC), itu baru NIM-nya dibawah 4%. Jadi masa margin laba dari bank-bank besar ini harus dibikin sama dengan bank-bank antah berantah itu??? Padahal maksudnya bukan itu. Dan kalau penulis pelajari lagi pernyataan Pak Muliaman, yang ia tekankan sebenarnya adalah bahwa bunga bank kalau bisa turun agar membantu ekonomi untuk tumbuh, jadibukan soal NIM-nya, apalagi bahwa laba bank harus turun. Tapi entah kenapa judul dari pemberitaannya hanya fokus pada NIM-nya, dan masalahnya sebagian besar orang kalau lagi baca berita hanya baca judulnya saja, bukan isi beritanya. Dan alhasil saham-saham perbankan langsung jeblok.

Tapi yah, penulis sudah cukup hafal dengan fenomena ‘saham jeblok karena berita jelek’ seperti ini, dimana kalau yang jadi ‘korban’ adalah saham bagus, maka penulis akan menganggap itu sebagai opportunity. Sejak 2009 sampai sekarang, entah sudah berapa kali saham-saham sektor perbankan dihantam sentimen miring, belum termasuk koreksi IHSG itu sendiri yang rutin menghantam hampir setiap tahunnya, tapi toh saham-saham bank yang bagus seperti BBCA, BMRI, BBRI, BBNI dst, mereka semua naik terus, dengan total kenaikan yang juga lebih tinggi dibanding IHSG. Dan apakah trend kenaikan dalam jangka panjaaaang tersebut akan terhenti hanya karena orang-orang belum paham soal NIM diatas? I don’t think so!

Disclosure: Ketika artikel ini ditulis, Avere Investama sedang dalam posisi memegang BBNI, BJBR, dan BBKP. Posisi ini dapat berubah setiap saat tanpa pemberitahuan sebelumnya.

The Calm Investor, buku tentang kontrol emosi dalam berinvestasi di pasar modal, sudah terbit! Anda bisa membelinya disini. Harganya hanya Rp55,000.

Ebook Analisis Kuartal IV 2015 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar