By Erizeli Jeli Bandaro
Kadang saya bertanya tanya. Mengapa kita selalu sulit bersikap sederhana atas masalah yang sebenarnya memang sederhana. Misal, kita engga bisa bedakan Alat tukar dan Alat bayar dalam perdagangan. Akibatnya banyak diantara kita mengatakan emas itu alat bayar. Padahal emas bukan alat bayar, tetapi alat tukar. Mengapa? Karena emas itu dari dulu adalah komoditas atau barang. Lucunya, masalah emas itu dibahas panjang lebar. Tetapi tidak tetap saja tidak bisa memdakan antara alat bayar dan alat tukar. Akibatnya tulisan itu jadi bias. Kadang membingungkan.
Kita sulit sekali memahami perbedaan antara uang sebagai “ alat bayar” dengan uang sebagai “ alat pembayaran”. Walau keliatan sederhana namun pengertiannya jauh sekali. Kalau uang sebagai alat bayar, itu ditentukan oleh pemerintah dengan sistem Fixed exchange rate. Itu bisa saja pemerintah melakukan cetak uang. Tetapi syaratnya uang harus diback up dengan collateral cukup. Mudah sekali terkoreksi ( devaluasi ) sehingga uang mudah jadi sampah. Itu terjadi di Venezuela dan Soeharto ( 1998).
Kalau uang sebagai “alat pembayaran”, maka ia menggunakan sistem floating exchange rate. Karena floating sifatnya maka uang sudah jadi komoditi yang nilainya ditentukan pasar. Lucunya, karena tidak paham perbedaan ini, orang membuat narasi too good to be true tentang printing money. Dia bicara tentang uang sebagai alat pembayaran tetapi tesisnya uang sebagai alat bayar. Kacau kan. Anehnya banyak banget orang percaya dengan narasi ini.
Kita juga tidak bisa membedakan tekhnologi sebagai alat dengan tekhnologi sebagai bisnis process. Misal IT. Ecommerce itu adalah platform IT untuk mendukung market place agar efisien dan efektif. Agar terjadi transformasi dalam tata niaga bisnis. Tetapi lucunya. IT berkembang pesat. Sementara tata niaga distribusi barang dari pabrikan sampai ke pengecer tidak berubah. Tetap saja business process tidak efisien. Apa yang terjadi? hanya menjual platform IT untuk orang yang males gerak. Engga akan ada kemajuan. Tetap aja rente. Akhirnya pada tumbang dah itu start up company. Cepat terang cepat redup.
Orang tidak bisa membedakan agama dan Politik. Agama itu berkaitan dengan ajaran nilai. Sementara Politik berkaitan dengan metodelogi mendapatkan nilai. Analoginya, Agama bicara tentang tujuan ke Bandung. Politik bicara tentang bagaimana mencapai tujuan ke Bandung. Kan bisa pakai mobil pribadi, jalan kaki. atau naik sepeda, atau kereta. Nah bayangkan, agama bicara politik. Nyambung engga ? Pasti engga. Prinsipnya beda. Politik bicara agama. Pasti engga nyambung. Tapi karena engga bisa bedakan, ya bicara politk bawa agama jadi bias. Sebaliknya bicara agama bawa politik sama saja. Bias juga.
Mungkin karena kelemahan kita dalam literasi sehingga membuat kita jadi masyarakat yang kacau berpikir. Apapun yang kita tiru dari luar pasti salah jadinya. Bukan sumbernya salah, tetapi cara berpikir kita yang salah. Akibatnya mudah jadi korban provokasi apa saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar