By Erizeli Jeli Bandaro
Di sela sela acara G20, Jokowi dan Xijinping secara simbolis meresmikan Kereta Cepat. Namun setelah itu, ada kendala serius penyelesaian Kereta Cepat. Sampai sekarang pemerintah belum juga mengeluarkan dana PMN sebesar Rp. 3,2 triliun kepada PT. KAI sebagai anggota konsorsium. Ini berdampak kenaikan biaya proyek. Menurut KAI, kalau desember nanti dana PMN cair, dipastikan tidak akan ada cost overrun lagi. Apa iya? dari dulu selalu begitu bilangnya sebelum anggaran turun. Akhirnya tetap saja cost overrun lagi.
Mengapa belum juga cair dana PMN?
Ternyata DPR belum menyetujui anggaran Rp. 3,2 Triliun untuk PMN PT. KAI. Jadi harapan desember cair, entahlah. Apa pasal? Karena hasil dua kali asersi BPKP memang terjadi cost overrun US$1,45 miliar ( Rp. 22 Triliun). Nah, kalau APBN keluar sebesar Rp. 3,2 triliun. Apa jaminannya akan selesai. Darimana kekurangan sisanya sebesar Rp. 18,56 Triliun? Berharap dari China Development bank (CDB)? Apa iya CDB mau memberikan pinjaman lagi atas proyek yang overrun dan tanpa jaminan pemerintah ? Andai pemerintah setuju memberikan jaminan, belum tentu DPR setuju. Kan penjaminan lewat APBN harus persetujuan DPR.
Masalah proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung sepertinya sudah masuk ranah politik. Terjadi gerakan silent menjepit Presiden. Koalisi pemerintah tidak keliatan solid. Terbukti Komisi IV DPR menunda pemberian PMN kepada PT. KAI sebesar Rp. 3,2 Triliun. Kalau Rp. 3,2 triliun aja sulit, ya gimana solusi menutupi kekurangan Rp. 18,56 triliun. Tanpa dukungan politk mana bisa dapat solusi. Padahal sudah ada Perpres 93/2021. Bisa jadi justru Perpres ini yang membuat Jokowi terjepit. Karena bertentangan dengan prinsip membangun indonesia centris.
Pada awalnya skema proyek Kereta Cepat ini adalah B2B ( Perpres tahun 107/
Sederet masalah menghadang. Misal, utang Jumbo Waskita Karya, sebesar Rp. 79 triliun, belum ada solusi konkrit penyelesaianya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar