Uang Mengalir pada tempat yang paling menguntungkan ( Profit is Queen, Cash Flow is King )
Jumat, 02 Desember 2022
Sikap mental berbisnis.
Di Indonesia ini sebagian besar pengusaha bersikap Vivere pericoloso. Nyalinya mengalahkan bangsa nain. Benar benar bonek. Ada teman saya bangun pabrik PKS ( pabri kelapa sawit). Waktu bangun itu 70% biaya dari bank. 30% modal sendiri. Skemanya non Recourse loan. Artinya kalau dia gagal bayar, pabrik disita. Dia hilang 30%. Takut? Engga. Terima aja. Selesai dibangun pabrik itu, dia mulau stress karena engga cukup modal kerja beli tandan sawit ke petani. Produksi tersendat. Credit terancam macet bayar cicilan. Bank tegur dia. Dengan jujur dia bilang kurang modal kerja. Padahal dalam studinya semua well prepare. Bank engga bisa marahin dia.
Hanya dua solusi bank. Beri dia modal kerja atau pabrik disita. Kalau disita, jelas nilai pabrik dipasar paling tinggi 30%. Bank pasti tekor. Jadi ya terpaksa bank beri dia fasilitas modal kerja agar produksi bisa jalan dan kredit jadi lancar. Selesai. Kemudian, kredit lancar, penjualan meningkat. Cash flow bagus. Berikutnya datang fund manager tawarkan dana lewat factoring atau cross settlement dengan rekening buyer di luar negeri. Dia bisa dapat dana tambahan. Dia terima aja tawaran dana itu. Uang masuk lagi. Produksi ditingkatkan lagi. Penjualan meningkat. Lama lama tanpa disadari dia sudah masuk ke leverage. Usaha berkembang karena utang. Tetapi gelembung neraca saja.
Semua BUMN kalau buat studi pembiayaan toll atau pelabuhan, selalu yang dihitung itu biaya investasi. Setelah investasi didapat dan proyek selesai dibangun. Muncul masalah. Apa itu?. Negatif cash flow. Selama lima tahun jalan toll merugi dari target pemasukan BEP. Kok begitu?. Ya namanya studi utuk dapatkan kredit bank, biasanya omzet digedein. Target pemasukan ditinggikan agar layak. Jelas saja BUMN kesulitan membiayai operasional. Kalau tidak dibantu, maka jalan toll itu rusak engga bisa diperbaiki. Mau engga mau, bank harus kasih lagi modal kerja agar selama negatif cash flow jalan toll tetap dirawat baik.
Setelah negatif cash flow diatasi, bukannya berusaha mencapai positif cash flow jadi laba, eh dia jadikan putaran cash flow itu untuk menarik utang untuk bangun jalan toll lain. Tanpa disadari, BUMN melakukan leverage terhadap proyek toll itu. Itu terus berkembang menjadi skema bagi direksi BUMN untuk membangun. Lama lama jadilah bubble neraca.
Apa yang teradi pada pabrik PKS dan BUMN karya itu juga terjadi di hampir semua bisnis di Indonesia. Dari level konglomerat sampai UKM. Sama saja. Nah ketika terjadi market adjustment akibat krisis global dan kemudian berlanjut kepada Pandemi COVID-19, cash flow terganggu. Semakin besar leverage semakin besar potensi stroke. Ya mulai jantung bisnis berdebar debar. Karena arus darah mulai melambat dan jantung dipaksa untuk terus bergerak normal. Jantung keuangan memanas. Mati sih engga, cuman stroke doang. Terpaksa masuk ICU bank untuk disehatkan. Ya caranya encerkan likuditas, tambah cash flow atau kurangi sumbatan dengan cara restuktur utang.
Yang jadi masalah, bank yang diharapkan bisa mengatasi cash flow atau aliran darah yang nyumbat, eh bank juga mengalami hal yang sama. Penyakit sama. Sama sama kurang likuiditas. Jadi mau berobat jantung kedokter, yang dokter juga kena penyakit jantung. Lucu kan. Apa pasal? Sumber likuiditas bank selama ini berasal dari Dana Pensiun. Likuiditas itu kesedot oleh pemerintah lewat penerbitan SBN untuk pembiayaan COVID-19. Kacau kan. Kemana lagi mau selamat? . Semua dokter ekonomi dan politik sakit semua. Ruang ICU bank penuh.
Apa yang dapat disimpulkan dari cerita diatas? Baik pengusaha, bank, pemerintah memang punya mental Vivere pericoloso. Berani banget nyerempet bahaya. Sebenarnya berani itu harus, tetapi juga harus dibarengi dengan perencanaan yang baik. Kalau mampunya 100 ya jangan dipaksa 1000. Kalau mampunya bangun 5 tahun jangan dipaksa 1 tahun. Semua harus ada proses. Leverage boleh saja dan memang begitu seharusnya tetapi tentu dengan langkah rasional dan terukur. Engga bisa Vivere pericoloso seperti Bonek. Semoga dengan adanya pandemi ini kita bisa merestruktur cara berpikir kita agar lebih profesional dan bermoral dalam berbisis. Paham ya sayang
by Erizeli Jeli Bandaro
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar