@JS76115 Joeliardi Sunendar, 18 Mei 2016
Disclaimer : Catatan ini merupakan catatan pribadi, dan bukan merupakan rekomendasi untuk menjual atau membeli saham perusahaan yang namanya disebut pada artikel ini ($INDY dan $BRMS). Jika ada hasil investasi yang diperoleh karena mengacu pada tulisan sebelumnya, tidak berarti hasil yang sama dapat diulang dengan mengacu kepada tulisan ini.
Berikut ini saya ingin mengutip kembali kalimat penutup tulisan saya di Stockbit di akhir Januari 2016, ketika nilai kapitalisasi INDY masih sekitar Rp 600 Milyar (pada kisaran harga Rp 110-120) : “If time is your friend, jika Anda berinvestasi pada perusahaan komoditi di siklus usaha yang tepat – yaitu pada saat banyak orang menghindari atau bahkan membencinya – Anda berpeluang mendapatkan imbalan (return) yang lebih dari memuaskan”. Dengan harga INDY saat ini, di kisaran harga Rp 600, maka imbal-hasil sebesar 400% hanya dalam kurun waktu 3-4 bulan tentu saja merupakan return yang lebih dari memuaskan. Untuk mereka yang berminat melihat kembali argumen lengkap mengapa saat itu saya melihat saham INDY sangat menarik,bisa klik di https://stockbit.com/post/
Bukan untuk bragging, jika saya mengutip kembali tulisan tersebut di atas. Tidak ada yang memiliki bola kristal didalam berinvestasi. Namun, ada satu kata dalam tulisan di atas yang sengaja ditebalkan, yaitu SIKLUS, yang ingin saya sharing dalam tulisan berikut ini.
Ketika kita melakukan investasi (bedakan dengan spekulasi), masing-masing kita tentu memiliki keinginan untuk memiliki pedoman yang relatif mudah dipahami dan simple, yang dapat membantu kita untuk dapat mencapai imbalan yang lebih dari memuaskan.
Pergerakan harga saham yang terjadi setiap detik, dengan kegaduhan yang muncul dari limpahan informasi yang juga berterbaran setiap saat, bisa jadi dengan mudah membuat kita kehilangan perspektif di dalam berinvestasi. Dalam serial tulisan sebelumnya, saya seringkali mengingatkan pentingnya bagi kita untuk mengabaikan kebisingan pasar, serta melakukan fokus pada hal paling penting : kinerja serta kondisi perusahaan. Memiliki saham sebuah perusahaan tiada lain adalah memiliki (sebagian) kepemilikan bisnis perusahaan itu.
SIKLUS. Kata siklus ini sebenarnya merupakan sebuah konsep yang sangat sederhana, namun sangat penting, dalam berinvestasi. Konsep ini dapat mencegah dan menghindarkan kita dari kerugian, dan juga memberikan peluang untuk mendapatkan hasil investasi yang lebih dari memuaskan, jika kita menerapkannya dengan tepat.
Ketika mengkaji laporan keuangan INDY, untuk membuat tulisan di atas, buku Howard Marks yang berjudul The Most Important Thing mengingatkan saya tentang pentingnya peranan konsep SIKLUS ini. Mungkin banyak orang tahu siapa Warren Buffet, tetapi banyak yang tidak terlalu mengenal Howard Marks. Catatan Buffett tentang Marks berikut ini, mungkin bisa meyakinkan kita tentang kehandalan dan reputasi Howard Marks :”When I see memos from Howard Marks in my mail, they’re the first thing I open and read. I always learn something, and that goes double for this book”. Howard Marks adalah salah satu pendiri Oaktree,sebuah perusahaan investasi terkemuka di Amerika.
Howard menulis “I think it’s essential to remember that just about everything is cyclical. There’s little I’m certain of, but these things are true : Cycles always prevail eventually. Nothing goes in one direction forever. Trees don’t grow to the sky. Few things go to zero. And there’s little that’s as dangerous for investor health as insistence on extrapolating today’s events into the future”. Dengan tulisan ini, Marks mengingatkan bahwa hampir semua hal bergerak dalam suatu siklus. Siklus merupakan sebuah keniscayaan. Tidak ada hal yang bergerak satu arah untuk selamanya. Pohon tidak tumbuh terus dan mencapai langit. Hanya sejumlah hal (perusahaan) yang nilainya sepenuhnya hilang dan menjadi nol. Sungguh berbahaya bagi investor jika terlalu bersikeras melakukan ekstrapolasi kejadian hari ini sebagai cermin tentang hal yang sama di masa depan.
Ketika harga minyak mencapai USD 140 dollar pada tahun 2008, banyak investor yang mengabaikan konsep SIKLUS, dan melakukan ekstrapolasi apa yang terjadi hari ini akan berlangsung selamanya di masa depan. Konsensus pasar telah menggiring para investor untuk percaya bahwa harga minyak akan terus melambung tinggi. Mereka harus mengalami kerugian besar, karena lebih mendengar Goldman Sachs yang saat itu meramalkan bahwa harga minyak akan terus naik mencapai USD 200 per-barrel. Ternyata hal yang sebaliknya terjadi, mereka yang memahami konsep SIKLUS terhindar dari kerugian saat harga minyak justru jatuh ke tingkat harga USD 40/barrel.
Saat harga minyak jatuh di bawah USD 30, di awal tahun 2016 dan Goldman juga yang meramalkan bahwa harga akan terus jatuh serta mengarah ke harga USD 20, banyak investor yang melupakan konsep SIKLUS ini. Dengan ekstrapolasi yang sama bersandarkan apa yang saat itu sedang terjadi, mereka menganggap bahwa penurunan harga minyak itu akan terjadi selamanya. Para investor yang mengabaikan konsep SIKLUS ini kehilangan kesempatan mendapatkan assets baik dengan harga obral.
Padahal data historis menunjukan bahwa meskipun benar Indonesia terpuruk dan kacau sejak tahun 1997 sampai awal 2000-an, konsep SIKLUS ternyata tidak memungkinkan Indonesia terus berada dalam keterpurukannya. Harga saham BCA tidak terus berada selamanya di harga Rp 400, atau Astra terus di harga Rp 100 (post-split) dan UNTR di Rp 200, seperti dialami pada tahun 2000. Ketika seolah-olah tidak tersedia lagi masa depan bagi bangsa dan negara bernama Indonesia. Begitu pula sebaliknya, ketika harga BUMI dari ratusan rupiah naik menjadi ribuan rupiah, dan mencapai Rp 8,000/lembar, bahkan satu Menko secara terbuka mengatakan dia juga membeli saham BUMI, hampir semua orang melupakan konsep SIKLUS. Banyak orang (salah satunya penulis ini) lantas menganggap bahwa harga batu bara akan naik terus selamanya. Semua orang berebutan untuk dapat menjadi pemilik atau pemegang saham perusahaan batu-bara.
Begitu juga sebelum tahun 2000 tiba di Amerika, seakan tidak ada batas kenaikan harga perusahaan di Amerika asal menggunakan kata dan imbuhan dotcom. Demikian pula halnya dengan housing boom yang terjadi di Amerika yang menyihir semua orang sehingga banyak yang beranggapan akan berlangsung selamanya. Koreksi yang datang pada tahun 2000 (untuk dotcom) dan 2007 (untuk housing boom) mengajarkan bahwa SIKLUS mengatakan fakta lain. Krisis dotcom di tahun 2000 dan krisis housing boom di tahun 2007, menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi mereka yang melupakan SIKLUS.
Hal sebaliknya juga terjadi, ketika di tahun 2008 setelah meletusnya housing buble, dan Amerika mengalamai krisis, seakan tidak ada lagi masa depan cerah bagi Amerika, seperti yang dialami Indonesia pada tahun 1998. Saat itu, saham Starbucks hanya berharga 7 dollar, Ford 2 dollar, Microsoft 17 dollar. SIKLUS mengajarkan, bahwa kondisi semacam itu tidak bisa berlangsung selamanya. Investor yang paham tentang ini, bisa mendapatkan imbalan yang lebih dari memuaskan.
Saya yakin, konsep SIKLUS ini bukan merupakan konsep baru atau sulit untuk bisa dipahami. Saya yakin, kita semua dapat mengenal hal ini dengan mudah. Pertanyaannya adalah, jika kita bisa memahami dan mengenali konsep SIKLUS dengan mudah, mengapa hal ini masih saja terjadi berulang-kali di depan mata kita. Ketika kita tahu, bahwa harga minyak (atau batubara, atau copper dan lainnya) tidak akan naik (atau turun) seterusnya, mengapa masih saja kita ikut arus saat harga naik, atau mengabaikan kesempatan saat harganya turun?
Howard Marks mungkin memiliki jawabannya. Menurutnya, SIKLUS itu terjadi, karena apa yang terbentuk di pasar itu merupakan hasil interaksi dari para pelakunya, yaitu orang. Dan orang, pada dasarnya tidak statis, mereka emosional (Silahkan baca beberapa seri artikel saya sebelumnya di Stockbit perihal Mr Market ini). Tentu saja ada faktor objektif lain yang mempengaruhi – baik makro maupun mikro – namun pada banyak waktu, reaksi para pelaku pasar ini yang juga menentukan terbentuknya SIKLUS ini. Kalau bukan faktor emosional, bagaimana Anda bisa menjelaskan harga saham INDY yang 3 bulan lalu dihargai oleh pasar di Rp 120, saat ini harganya dihargai 400% lebih mahal, Rp 600?. Memangnya ada perubahan apa yang terjadi di INDY dalam 3 bulan ini? Memangnya keuntungan perusahaan dalam 3 bulan ini meningkat 400%?
Sebaliknya juga, reaksi pasar yang berlebihan – yang sama parahnya dengan tidak adanya reaksi – yang mungkin menjadi penyebab harga INDY yang pernah dihargai Rp 4,000/lembar jatuh menjadi Rp 110 saat saya menulis soal INDY bulan Januari 2016 itu. Jika harga yang terbentuk di pasar itu bisa 110, 200, 600, 4,000, 300 dan sebagainya dalam waktu yang pendek, bagaimana mungkin kita mengandalkan perilaku erratic dan emosional semacam ini?. Oleh karena itu, untuk mereka yang mampu mengabaikan konsensus pasar, seringkali pasar memberikan kesempatan untuk memperoleh imbalan yang lebih dari memuaskan.
Tidak usah percaya kepada saya, tapi ada baiknya untukmendengar perkataan Marks :”Ignoring cycles and extrapolating trends is one of the most dangerous things an investor can do. Rule #1 : most of things will prove to be cyclical. Rule #2 : some of the greatest opportunities for gain and loss come when other people forget Rule#1”.
Bisa jadi Rule #2 itu memberikan berita gembira untuk mereka yang mengabaikan pasar dan mau memahami konsep SIKLUS. Bukan saja bisa menghindarkan kita dari kerugian, tetapi memberi kesempatan untuk mendapatkan imbalan yang lebih dari memuaskan. Kalau kita mengacu pada pemikiran Marks, dia mengatakan bahwa “cycles are self-correcting”. Karena itu dalam penutup tulisan saya tentang INDY di atas, saya menekankan “If time is your friend……”. Karena kita tidak memiliki bola kristal, kita tidak tahu kapan SIKLUS itu mengoreksi dirinya sendiri, sehingga waktu harus menjadi teman kita.Investasi bukanlah upacara yang lazim dilakukan sebagian terbesar “investor” yang sering menjadikan peristiwa pergerakan harga di-screen setiap detiknya sebagai peristiwa yang dianggapnya paling penting.
Celakanya, semakin pembentukan harga yang terjadi setiap saat itu dianggap sebagai hal yang paling penting, maka semakin tinggi pula kadar emosional yang mempengaruhi keputusan investasi kita. Jika hal ini terjadi, maka pandangan yang menganggap SIKLUS sebagai suatu keniscayaan mungkin semakin tidak memiliki arti lagi. Dalam kenyataanya memang tidak mudah mengabaikan pasar serta aliran informasi yang begitu masif-nya datang setiap saat. Inilah salah satu alasan saya menulis catatan ini. At least, catatan ini bisa membantu untuk mengingatkan saya tentang keberadaan konsep SIKLUS itu. Hal ini, pada gilirannya, akan membuat saya untuk tidak dengan mudah mengabaikan konsep SIKLUS ini jika saya mengalaminya pada masa-masa mendatang. Atau, memanfaatkannya sesuai dengan Rule #2 di atas.
Sebagai penutup, terkait konsep SIKLUS ini - meskipun dalam kondisi dan skala yang berbeda dengan INDY - saya tertarik untuk menulis beberapa catatan tentang BRMS. Catatan-catatan itu sudah saya tulis di Stockbit berikut ini:
Terkait BRMS ini, saya sekali lagi ingin mengingatkan bahwa catatan ini hanya merupakan catatan pribadi dan bukan rekomendasi untuk membeli atau menjual saham BRMS. Silahkan melakukan DD. Saya juga ingin menekankan bahwa tata-kelola perusahaan (corporate governance) BRMS berbeda jauh dengan INDY. Oleh karena itu, ada baiknya prioritas dilakukan untuk membaca RISIKO-RISIKO-nya dan baru setelah memahami risikonya, Anda membaca catalyst-nya.
Have a great investing,
Wellson
Follow us
Stockbit
Powered by Intercom
|
Uang Mengalir pada tempat yang paling menguntungkan ( Profit is Queen, Cash Flow is King )
Rabu, 18 Mei 2016
SIKLUS : SALAH SATU KATA KUNCI DALAM INVESTASI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar