Tahun 2005, penulis yang ketika itu masih kuliah tingkat tiga di kampus Jurusan Statistika, Unpad Jatinangor, diajak oleh teman satu angkatan di kampus, Ivan namanya, untuk bergabung dengan organisasi Himpunan Mahasiswa Statistika (Himasta) Unpad. Sebelumnya Ivan ini terpilih sebagai wakil ketua Himasta tersebut, dan ia sedang mencoba membangun timnya dengan merekrut beberapa mahasiswa lainnya, termasuk penulis, untuk juga masuk ke Himpunan. Ketika itu penulis hanya bertanya, ‘Gue ntar ngapain di Himasta? Gue gak begitu suka ber-organisasi’.
Lalu Ivan menjawab, ‘Elu suka dagang gitu kan Guh? Gue punya ide, gimana kalau di Himasta ini kita bikin satu departemen baru, namanyaDepartemen Kewirausahaan. Kerjaannya ya mencoba jualan, berbisnis, atau apapun itu yang ada kaitannya dengan dunia usaha, tapi atas nama Himasta. Departemen ini belum ada sebelumnya, dan gue pikir gak ada salahnya kalau kita bikin satu, siapa tau bisa membantu menyebar virus wirausaha di kalangan anak-anak Stat juga.’ Ketika itu penulis memang sudah dikenal di lingkungan kampus sebagai pengusaha kecil-kecilan, mungkin malah satu-satunya mahasiswa yang masih sempet-sempetnya jualan ini dan itu, ketika mahasiswa yang lain lebih sibuk ngutak ngatik angka, membuat riset, dan menggambar chart.
Dan meski sebelumnya penulis juga sempat berpikir untuk masuk organisasi kampus (karena banyak yang mengatakan bahwa kemampuan berorganisasi nantinya akan diperlukan di dunia kerja), namun penulis menganggap bahwa berorganisasi itu cuma buang-buang waktu, karena kerjaannya cuma rapat melulu di sekre tanpa kegiatan lapangan yang riil, sementara saya sukanya kelayapan. However, karena Ivan ini merupakan salah satu kawan dekat penulis dimana kita sering pergi ke rental PS bareng, maka penulis akhirnya setuju untuk masuk Himasta, dengan titel sebagai Ketua Departemen Kewirausahaan. Penulis kemudian merekrut beberapa adik kelas untuk menjadi anggota di Departemen yang baru tersebut.
Sayangnya karena penulis lebih sibuk dengan kegiatan usaha milik penulis sendiri, maka setelah beberapa bulan, Departemen Kewirausahaan boleh dibilang tidak melakukan kegiatan sama sekali. Hingga akhirnya pada satu waktu, penulis mengumpulkan para anak buah untuk berdiskusi, dan di diskusi tersebut saya bilang begini: ‘Beberapa bulan lagi kepengurusan kita di Himasta akan berakhir (akan digantikan oleh angkatan yang lebih muda), tapi Dept. Kewirausahaan belum melakukan kegiatan apapun. Tapi terus terang, saya juga tidak punya ide untuk membuat kegiatan apa, karena tidak ada contoh kegiatan dari angkatan himpunan yang sebelumnya, karena memang di angkatan sebelum kita, Dept. Kewirausahaan ini belum ada.’
‘Meski demikian, saya ingin agar departemen ini tetap ada di kepengurusan himpunan yang berikutnya, untuk menyebarkan semangat wirausaha itu sendiri. Karena sejauh yang saya amati, ‘menjadi pengusaha’ sama sekali belum menjadi trend yang populer di kampus statistika, dimana masih sedikit sekali mahasiswa disini yang mau berjualan. Dan alumni-alumni yang sukses pun, kebanyakan merupakan profesional atau birokrat, tapi belum banyak yang bertitel pengusaha.’
Penulis kemudian melanjutkan, ‘Saya punya visi bahwa departemen ini akan menjadi tempat bagi anak-anak Stat Unpad untuk belajar bisnis, dan dari departemen ini nantinya akan lahir pengusaha-pengusaha, dimana mereka akan datang ke reuni alumni atau seminar kampus dengan titel sebagai pengusaha, untuk memberikan motivasi ke temen-temen mahasiswa untuk juga menjadi seorang pedagang atau pebisnis. Karena Indonesia sudah memiliki terlalu banyak pencari kerja, namun baru memiliki sedikit pembuat lapangan pekerjaan.’
Diskusi tersebut akhirnya menyimpulkan satu kegiatan: Dept. Kewirausahaan akan membeli sebuah rak counter yang terbuat dari kaca, seperti yang biasa dipakai orang untuk jualan pulsa, untuk diletakkan di lobby kampus statistik dan kemudian dipakai oleh Himasta untuk berjualan pernak pernik kampus, minimal ke anak-anak Stat itu sendiri. Sayangnya hingga masa kepengurusan berakhir, penulis dan tim masih belum sanggup mengumpulkan dana sebesar Rp600,000 untuk membeli counter tersebut. Tapi sebelum penulis lengser, saya menitip pesan kepada salah satu anggota departemen untuk menjadi ketua selanjutnya (saya lupa siapa namanya), dan untuk merealisasikan pembelian counter tersebut. Untungnya saya bisa merasakan bahwa adik kelas penulis ini tampak bersemangat ketika saya berbicara soal bagaimana counter itu bisa menjadi suatu legacyyang akan selalu diingat oleh adik-adik kelas kita nanti, bahwa counter itu bisa ada berkat kepengurusan Himasta di tahun 2006.
Tak lama kemudian, counter tersebut akhirnya benar-benar hadir di kampus, dan menjadi tempat bagi anak-anak himpunan untuk berjualan gantungan kunci, stiker, mug, dll.
Waktu berlalu. Beberapa tahun kemudian yakni di tahun 2014, penulis diundang oleh.. Departemen Kewirausahaan Himasta, untuk memberikan kelas singkat dan motivasi tentang dunia usaha ke anak-anak Stat Unpad di Jatinangor. Sudah tentu, saya dengan senang hati datang, dan disitu penulis sama sekali tidak ngomong soal pasar modal, melainkan tentang bagaimana saya menjalani karier sebagai pengusaha kecil-kecilan selama saya kuliah. Dan, baru bulan April kemarin, Ikatan Alumni Stat Unpad mengadakan reuni akbar di Bumi Sangkuriang, Bandung, dimana penulis turut hadir. Disitulah penulis melihat ada counter kaca dengan papan nama ‘Dept. Kewirausahaan Himasta’, yang menjual berbagai aksesoris kampus.
Sebuah mug dengan logo Himasta. Harganya cuma Rp20,000. Rada dongkol juga, karena 50,000 juga harusnya masih laku, toh yang beli masih kakak kelas sendiri |
Dengan demikian visi penulis bahwa Dept. Kewirausahaan tersebut harus tetap ada, dan menjadi tempat bagi anak-anak Stat untuk belajar bisnis, pada akhirnya menjadi kenyataan. Dan entah ada hubungannya dengan dept. tersebut atau tidak, meski di angkatan penulis sendiri (saya angkatan tahun 2003) hanya ada tiga atau empat orang alumni yang jadi pengusaha (selebihnya pada jadi PNS), namun di angkatan-angkatan yang lebih muda, jumlah pengusaha tersebut jauh lebih banyak. Di salah satu Kelas Value Investing yang saya selenggarakan beberapa waktu lalu, turut hadir seorang anak Stat Unpad angkatan 2005 yang sukses sebagai pemilik toko kebutuhan bayi dan balita, dimana ia tertarik untuk menginvestasikan sebagian hasil usahanya ke instrumen saham.
Okay, lalu apa inti dari pembahasan kita kali ini?
Sesuai judul diatas, kita disini bukan membahas soal wirausaha-nya, melainkan membahas soal pentingnya sebuah visi. Cerita diatas merupakan contoh bagaimana suatu visi yang dibuat bertahun-tahun lalu, pada akhirnya menjadi kenyataan. Jauh sebelum penulis terjun ke dunia pasar modal di tahun 2009, saya sudah diajarkan bahwa sangat penting untuk memiliki visi jangka panjang, untuk memiliki gambaran tentang akan jadi seperti apa diri anda bertahun-tahun dari sekarang, serta kontribusi apa yang bisa anda berikan untuk orang banyak.
Dan dalam kaitannya dengan dunia investasi saham, jika anda bisa membangun visi, dalam artian mampu melihat jauh kedepan, maka akan terdapat dua manfaat. Pertama, anda akan bisa melihat diri anda sendiri jauh kedepan, dan ini sangatlah penting. Dengan memiliki gambaran ataugoal tentang ‘akan menjadi siapa’ diri anda katakanlah dalam 10 tahun ke depan, maka segala aktivitasyang anda lakukan akan mengarah untuk mencapai goal tersebut (dan inilah yang disebut dengan ‘misi’). Jadi jika anda ingin menjadi investor saham yang sukses, maka tentu anda tahu apa yang harus anda lakukan: Mulailah berinvestasi dari sekarang, gali terus pengalaman, keep learning, sempatkan menulis & mencatat hal-hal penting yang anda alami selama berinvestasi (untuk anda baca dan pelajari sendiri nanti, anda pikir ngapain Opa Warren menulis annual letter setiap tahunnya?), dan fokus pelajari tehnik dan metode investasi yang sudah anda pilih, entah itu value investing atau lainnya. Selengkapnya bisa baca lagi artikel berikut: Nilai Intrinsik Investor.
Namun jika anda tidak memiliki visi seperti contoh diatas, maka artinya anda tidak memiliki tujuan alias goal. Dan jika anda tidak memiliki goal, maka anda tidak akan tahu apa yang harus anda lakukan. Sekarang bayangkan jika anda main sepakbola, tapi anda tidak tahu dimana lokasi gawang lawan berada: Anda bakal menendang bola kemana kalau begitu?
Okay, itu satu. Yang kedua, kemampuan untuk melihat jauh kedepan akan sangat berguna ketika kita menerapkan metode value investing itu sendiri. Seperti yang kita ketahui, pekerjaan seorang value investor sangatlah sederhana: Cari saham bagus dan murah, lalu beli, lalu tunggusampai dia naik sendiri. Sementara jika anda tidak menemukan saham yang memenuhi dua kriteria tersebut (bagus dan murah, karena kadang-kadang kita berada dalam situasi pasar dimana saham-saham bagus udah pada mahal semua), maka anda harus tunggu diluar, alias pegang cash.
Jadi pekerjaan value investor itu sebenarnya lebih banyak menunggu saja, entah itu menunggu untuk membeli, atau menunggu untuk menjual. Namun ketika menunggu inilah, investor yang tidak memiliki visi, alias tidak mampu melihat bahwa harga suatu saham pada akhirnya akan naik atau turun ke posisi tertentu dan hanya terpaku pada harga sahamnya saat ini, biasanya akan gelisah, dan ujung-ujungnya ia akan melakukan kesalahan, entah itu menjual sahamnya terlalu cepat padahal saham tersebut masih bisa naik lagi, atau sebaliknya membeli terlalu cepat, yakni pada harga yang sebenarnya masih bisa lebih rendah lagi.
Contoh riil-nya, dan ini sudah beberapa penulis sampaikan di kelas seminar, pada awal tahun 2015 lalu seorang teman bertanya, ‘Pak Teguh, BBRI bagus nggak buat long term?’
Penulis jawab, ‘Iya BBRI tentu saja bagus pak.’
Ia bertanya lagi, ‘Di harga sekarang (12,000-an) apa boleh masuk?’
‘Jangan dulu. PBV BBRI sekarang 3.0 kali, dan kalau berdasarkan pengalaman, itu mahal banget.’
‘Jadi beli di harga berapa bagusnya?’
‘Sekitar 9,000 pak. Di harga segitu PBV-nya 2.3 kali, dan memang batas harga terendah yang mungkin dicapai BBRI, terutama kalau IHSG terkoreksi, adalah sekitar PBV 2.3 kali tersebut. Malah pernah juga sampai 1.7 – 2.0 kali’
‘Dari 12,000 ke 9,000, berarti turun sekitar 30%. Apa mungkin BBRI bisa turun sampai serendah itu?’
‘Iya mungkin saja pak. Lebih dari itu juga mungkin kok.’
‘Tapi bukannya tadi pak Teguh bilang BBRI ini bagus? Kalau saham bagus gimana bisa turun?’
‘Iya BBRI memang bagus, tapi di harga sekarang dia mahal. Dalam value investing, sebagus apapun sebuah saham, bukan berarti kita bisa membelinya pada harga berapapun.’
Namun beberapa waktu kemudian, BBRI justru naik lagi hingga sempat menembus 13,000 pada April 2015, dan ketika itulah teman penulis bertanya lagi soal BBRI ini, dan penulis tetap menjawab bahwa kecuali dikasih harga 9,000, saya tetap tidak akan membeli BBRI ini. However, mungkin karena khawatir ketinggalan kereta, teman penulis akhirnya tetap membeli BBRI di 13,000-an.
Logo BBRI, yang sahamnya hampir selalu menjadi menu wajib untuk dibeli, setiap kali IHSG terkoreksi |
Tapi masih di bulan April itu juga, IHSG mulai longsor, dan BBRI turut terkoreksi hingga 11,000-an dan terus turun.. hingga mencapai 9,000 pas pada Agustus. Ketika itulah penulis sendiri masuk, dimana meski BBRI sempat bablas sekali lagi sampai 8,000-an, namun pada akhirnya dia tetap naik hingga tembus 12,000-an, pada Februari 2016 kemarin.
Bagian yang menariknya adalah, ketika di bulan Februari 2015, yakni ketika BBRI berada di posisi 12,000-an dan penulis mengatakan bahwa ‘BBRI akan turun ke 9,000’, maka tidak ada seorangpun yang percaya, apalagi sebulan kemudian BBRI malah naik lagi sampai 13,000-an. Sebaliknya, ketika BBRI drop sampai 9,000 di bulan Agustus dan saya mengatakan bahwa ‘Tenang saja, ntar juga naik lagi’, maka sekali lagi, tidak ada seorangpun yang percaya! Apalagi ketika itu pasar dalam situasi serba panik, dan BBRI sendiri sempat drop lebih dalam lagi sampai 8,000-an.
Intinya, ketika sebagian besar investor di pasar modal hanya bisa melihat harga suatu saham pada saat ini saja, tanpa memiliki gambaran sama sekali bahwa kedepannya saham tersebut akan bergerak kemana, maka sebagian kecil investor lainnya mampu menganalisa bahwa saham tersebutundervalue, atau sebaliknya overvalue, dimana berdasarkan analisa itulah, ia kemudian menciptakan visi bahwa saham tersebut pada akhirnya nanti akan naik atau turun ke posisi sekian. Jadi kenapa penulis di bulan Februari 2015 mengatakan bahwa BBRI, yang ketika itu berada di level 12,000, cepat atau lambat akan turun ke kurang lebih 9,000? Ya karena BBRI di harga 12,000, berdasarkan nilai ekuitas perusahaan ketika itu, jelas overvalue. Udah gitu doang!
Jadi itulah, ladies and gentlemen, pentingnya seorang investor untuk memiliki visi, untuk bisa melihat jauh ke depan! Yakni untuk bisa melihat saham bukan berdasarkan harganya pada saat ini, tapi berdasarkan harganya yang seharusnya, dan poin inilah yang membedakan value investor dengan pelaku pasar lainnya (growth investor, trader, spekulan, dll). Contoh lain, seperti yang sudah kita bahas di artikel minggu lalu, sekarang ini ada banyak saham-saham BUMN yang bergerak tidak wajar, dimana beberapa diantaranya naik terus, dan sebaliknya beberapa lainnya turun terus. Dan seperti biasa, sebagian besar pelaku pasar hanya melihat saham-saham tersebut pada harganya saat ini, dimana saham BUMN yang lagi naik terus diburu tak peduli meski fundamentalnya nol, sementara saham BUMN yang lagi turun malah dianggap jelek dan prospeknya suram (biasanya karena banyak berita jelek juga), tak peduli meski fundamentalnya bagus, dan valuasinya sudah undervalue.
Well, namun mudah-mudahan setelah membaca artikel ini, you know what to do. Sedikit tips, diatas penulis menyebut ‘untuk bisa melihat jauh ke depan’. Namun seringkali ‘jauh kedepan’ itu sebenarnya tidak terlalu jauh, melainkan hanya beberapa minggu hingga beberapa bulan saja. Berdasarkan pengalaman, ketika anda membeli saham bagus pada harga murah, maka anda tidak perlu menunggu sampai bertahun-tahun seperti kisah penulis ketika kuliah dulu, agar visi anda (bahwa saham tersebut pada akhirnya akan naik) menjadi kenyataan, melainkan paling lama hanya beberapa bulan saja. And trust me, kalau anda minimal sudah 2 – 3 tahun di market, maka ‘beberapa bulan’ itu sama sekali gak lama kok. Kalau gak percaya, coba lihat kalender: Sekarang udah bulan Juni lagi lho! Atau sudah lewat enam bulan sejak awal tahun kemarin.
Yang juga perlu dicatat, beberapa visi (bahwa saham akan naik atau turun ke harga tertentu) terkadang menjadi kenyataan, namun beberapa lagi tidak, namun itu tidak jadi masalah. Seperti contoh BBRI diatas, penulis hanya mengatakan bahwa ‘Kecuali dikasih harga 9,000, saya tidak akan membeli BBRI ini’. Ini artinya jika setelah beberapa waktu BBRI ternyata tidak turun dari 12,000 ke 9,000 tapi malah terus saja naik (dan memang pernah juga terjadi sebuah saham yang sudah mahal ternyata masih naik terus, atau sebaliknya sudah murah tapi turun terus), maka ya sudah, kita gak akan beli BBRI dan cari saham lain saja, yang fundamentalnya sama-sama bagus tapi valuasinya jauh lebih murah. Seperti kata pepatah: Ketika satu pintu tidak terbuka, dan setelah ditunggu-tunggu tetap saja tidak terbuka, maka carilah pintu yang lain.
Namun memang, khusus untuk saham-saham blue chip yang likuid, maka jarang terjadi sebuah saham naik teruusss, atau sebaliknya turun terus, melainkan bergantian naik dan turun dalam hitungan bulan. Atau dengan kata lain, ‘visi’ yang anda buat biasanya akan akurat, sehingga risikonya lebih kecil dibanding kalau anda beli saham-saham second liner. Pada tahun 2011 lalu, saham-saham perbankan seperti BBCA, BMRI, BBRI, dan BBNI, secara keseluruhan bergerak stagnan atau bahkan sedikit turun, seiring dengan IHSG-nya yang di tahun tersebut hanya naik 3.2%, malahan sempat jeblok gila-gilaan ketika IHSG pada bulan Oktober sempat turun 8.88% dalam sehari (tapi sebelum Desember langsung naik lagi). Namun karena sejak awal kinerja emiten-emiten perbankan tersebut masih oke, maka hanya beberapa bulan kemudian yakni di tahun 2012-nya, mereka langsung naik rata-rata 40 – 50%, ketika IHSG-nya hanya naik 12.9%.
Menariknya, di tahun 2016 ini, saham-saham perbankan secara keseluruhan bergerak turun sejak awal tahun ketika IHSG-nya masih naik sekitar 5%, padahal kinerja mereka masih aman-aman saja. Soo, what do you think???
Buletin Analisis IHSG & Rekomendasi Saham Bulanan edisi Juni 2016 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, gratis konsultasi portofolio/tanya jawab saham untuk member.
Jadwal Seminar Value Investing: Buy at Lowest Price, Sell at Highest. Hotel NEO Tendean, Jakarta Selatan, Sabtu 18 Juni 2016 (sekaligus gathering & buka puasa bersama). Keterangan lebih lanjut klik disini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar