By Teguh Hidayat
Kalau ada suka travelling dan sering bepergian menggunakan pesawat terbang, maka anda tentunya hafal dengan maskapai Lion Air yang sangat terkenal.. tapi bukan terkenal dalam artian yang positif, melainkan justru terkenal sebagai maskapai ‘kelas angkot’ yang sering delay. Karena reputasinya yang buruk itu pula, ketika beberapa tahun lalu penulis mulai sering naik pesawat terbang, penulis sengaja menghindari maskapai yang satu ini dan lebih memilih Garuda, Air Asia, Citilink, dan Sriwijaya Air. Dan memang, saya tidak pernah bermasalah dengan maskapai-maskapai tersebut, apalagi Garuda yang benar-benar jaminan mutu (tapi harga tiketnya kadang bikin kesel..)
Namun sekitar dua tahun lalu, penulis mau tidak mau harus menggunakan jasa Lion Air untuk pertama kalinya, karena memang ketika itu di rute penerbangan yang akan penulis lalui (Bandung – Jogja) cuma ada Lion doang. Sempat khawatir sejenak, namun pengalaman pertama itu berjalan sangat mulus: Pesawat sama sekali tidak delay, penerbangannya cukup nyaman (meski memang jarak antara kursi dengan kursi didepannya sedikit terlalu dekat, sehingga bikin dengkul mentok), dan para flight attendant-nya juga sangat ramah.
Sejak saat itu penulis jadi pelanggan setia Lion. Dan entah kebetulan atau tidak, selama ini belum pernah sekalipun penulis merasa tidak puas dengan Lion Air ini, entah itu karena dia delay atau masalah lainnya (selalu tepat waktu). Termasuk, semalem penulis baru saja pulang dari acara Market Outlook di Surabaya menuju Jakarta pake Lion, dan sekali lagi dia tepat waktu, plus sepertinya pesawatnya masih sangat baru, sehingga penerbangannya terasa sangat mulus (pesawat sempat mengalami turbulensi karena melewati awan hujan, tapi getarannya tidak terlalu terasa). Dan para flight attendant-nya sangat-sangat sopan, dimana mereka dengan sabar mengingatkan beberapa penumpang bandel yang masih menelpon pakai handphone, padahal pesawat sudah akan tinggal landas (sumpah, penumpang model gini bikin kesel banget!)
Intinya sih, kalau pihak Lion minta testimoni, maka penulis akan dengan senang hati mengatakan bahwa, dengan mempertimbangkan value for money, maka Lion adalah salah satu maskapai terbaik di Indonesia. Kalau ada beberapa pesawatnya yang delay ataupun mengalami masalah lainnya, maka sebagai maskapai dengan rute dan jumlah pesawat paling banyak di tanah air, ya pasti ada saja pesawatnya yang tidak bisa melayani penumpang secara maksimal. Tapi yah, berapa banyak sih jumlah penerbangan yang delay ini dibanding penerbangan lainnya yang tepat waktu? Dan kalau Lion memang seburuk itu, maka kenapa pesawatnya selalu penuh?
Dalam hal ini penulis juga jadi ingat dengan restoran murah meriah, Solaria, yang sepertinya juga ‘bernasib’ sama seperti Lion Air: Punya reputasi yang buruk di mata masyarakat. Kalau anda baca-baca di internet, ada banyak sekali cerita tentang pengunjung restoran Solaria yang entah itu menemukan kecoa di makanan yang disajikan, sudah menunggu lama tapi tidak juga dilayani, makanan yang disajikan ternyata belum matang, dan seterusnya. Tapi entah kebetulan atau gimana, seperti hal-nya Lion Air, penulis juga tidak pernah mengalami masalah kalau makan di Solaria, melainkan justru selalu puas karena, coba anda bayangkan: Nasi goreng kepiting, porsinya besaaar dan rasanya pun lumayan, tapi harganya cuma Rp35,000, dan tempat restorannya pun cozy banget! Jadi kurang puas gimana coba?
Pendek kata, kalau bukan karena penulis berani mengabaikan opini-opini jelek yang beredar tentang Lion dan Solaria ini, melainkan memutuskan untuk mencobanya sendiri, maka mungkin penulis harus keluar biaya yang lebih besar untuk jalan-jalan karena terus pake Garuda, dan juga kelaparan di bandara karena gak mau makan di Solaria. Seperti halnya Lion, Solaria juga selalu penuh, dan itu tidak mungkin terjadi kalau restoran tersebut benar-benar bermasalah bukan?
Okay, lalu apa hubungannya ini dengan investasi kita di saham?
Sebagian besar investor, entah karena dia masih pemula atau memang belum benar-benar bisa melakukan menganalisis saham, dalam membuat keputusan untuk membeli atau menjual saham biasanya mereka lebih mengandalkan analisis atau opini dari orang lain, entah itu analis sekuritas, analis/investor independen (seperti penulis), atau pendapat-pendapat para ‘pakar’ yang diposting di media sosial.
Problemnya bukan terletak pada apakah opini tersebut tepat atau tidak, karena analis/investor manapun bisa saja benar sewaktu-waktu, tapi juga bisa keliru di waktu yang lain. Yang jadi masalah adalah, kebanyakan dari opini tersebut disampaikan bukan berdasarkan fundamental dari saham yang bersangkutan, melainkan berdasarkan kondisi pasar pada saat itu. Jadi kalau IHSG lagi naik nih, maka semua orang tiba-tiba saja menjadi optimis dan berani belanja besar-besaran, dan para analis sekuritas juga sangat bersemangat merekomendasikan saham ini dan itu kepada para nasabahnya. Termasuk saham abal-abal macam SIAP sekalipun, kalau dia lagi naik maka pasti ada saja analis yang rekomen.
Tapi gilirannya IHSG jeblok, ketika saham-saham pada jatuh, maka ketika itulah para analis tiba-tiba saja diam dan menghilang. Semua cerita optimis, katakanlah seperti Window Dressing yang sering disebut-sebut menjelang akhir tahun, tiba-tiba saja menguap, digantikan oleh cerita horor seperti kenaikan Fed Rate lah, pelemahan Rupiah lah, bla bla bla. Jadi kalau anda tidak mengerjakan analisa saham anda sendiri dan lebih mengikuti opini-opini yang nggak konsisten seperti itu (hari ini optimis karena IHSG sedang terbang, tapi besok atau besok lusanya langsung bilang bahwa Indonesia lagi krisis), maka anda akan bingung sendiri. Ada terlalu banyak kasus dimana seorang investor membeli saham ketika seharusnya menjual, dan menjual ketika seharusnya membeli, gara-gara pas IHSG naik dia dikomporin buat belanja, tapi ketika IHSG turun dia ditakut-takutin sehingga malah cut loss.
Padahal kalau anda sudah bisa menganalisa dengan baik, kalau anda sudah mengecek sendiri fundamental dari saham-saham yang akan anda beli dan kemudian diperoleh kesimpulan bahwa dia bagus, maka tidak peduli meski orang-orang bilang bahwa saham A jelek, tidak peduli meski saham A terseret turun karena penurunan IHSG sehingga semua orang menakut-nakuti anda, anda akan santai-santai saja! Jadi seperti cerita Lion Air dan Solaria diatas, dimana kalau anda terlalu percaya pada cerita-cerita jelek yang beredar dan tidak pernah mencobanya sendiri, maka anda mungkin tidak akan pernah tahu bahwa dua perusahaan tersebut sejatinya punya service yang bagus. Dan demikian pula di saham: Kalau anda terlalu denger omongan orang tapi gak pernah menganalisa sendiri, maka anda mungkin menjual saham yang semestinya anda beli, dan sebaliknya membeli saham yang semestinya tidak pernah anda sentuh.
Dalam hal ini mendengar atau membaca analisa/opini tentang saham tertentu dari orang lain, termasuk analisa yang disajikan di website ini, itu boleh-boleh saja, tapi jadikan analisa tersebut sebagai second opinion saja, untuk menguatkan analisa yang sudah anda buat sendiri sebelumnya. Selain itu, hindari opini-opini atau rekomendasi yang bersifat harian, karena biasanya rekomendasi seperti itu sangat labil, dimana hari ini sarannya buy (soalnya IHSG naik), tapi besoknya langsung suruh cut loss. Contohnya, ketika artikel ini ditulis, IHSG lagi longsor lagi ke posisi 4,300-an, dan semua cerita yang jelek-jelek langsung keluar dan jumlahnya akan semakin banyak setiap kali IHSG turun lebih dalam. Tapiii, liat deh kalau besok-besok IHSG naik lagi, maka ceritanya akan beda lagi!
Jadi berbeda dengan opini tentang Lion Air yang ada benarnya, bahwa memang maskapai ini kadang-kadang memang delay, opini harian tentang pasar modal seringkalingawur sama sekali, dimana rekomendasi buy baru keluar setelah IHSG naik, dan sebaliknya, rekomendasi sell baru keluar setelah IHSG turun. Lah kalau gitu caranya gimana anda bisa untung? Bukankah katanya kita harusnya buy on weakness dan sell on strength? Kenapa ini malah sebaliknya???
Hanya memang, tidak segampang itu untuk bisa percaya diri terhadap analisis yang anda buat sendiri, untuk tetap meng-hold saham bagus yang anda pegang ketika IHSG dihantam koreksi, atau sebaliknya untuk menahan diri untuk tidak belanja ketika IHSG naik tinggi dan valuasi saham-saham sudah kelewat mahal. But trust me, selama anda bisa cuek terhadap naik turunnya pasar modal serta kehebohan orang-orang dalam menyikapinya, selama anda bisa tetap fokus pada fundamental serta valuasi dari saham-saham yang anda pegang, maka seiring dengan berjalannya waktu, hasilnya akan sangat luar biasa :)
Pengumuman: Penulis menyelenggarakan acara ‘Market Outlook – Peluang Investasi di Tahun 2016’ di Bandung. Untuk bergabung, keterangan selengkapnya klik disini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar