Teguh Hidayat
Suatu hari, mungkin satu atau dua tahun yang lalu, penulis menerima undangan dari sebuah perusahaan BUMN untuk mengisi kelas investasi saham di kantor mereka, dimana peserta kelasnya adalah para karyawan BUMN tersebut. Pengirim undangan, sebut saja namanya Bapak A, bertanya berapa biayanya, dan penulis jawab kalau hanya materi pengenalan pasar modal, itu gratis, paling saya minta ongkos transport saja. Tapi kalau mau materi lengkap seperti seminar yang reguler, maka total biayanya sekian Rupiah untuk peserta sebanyak 20 orang. Bapak A kemudian menawar, boleh gak kalau biayanya sekian Rupiah saja? Penulis bilang, oke boleh. Bapak A kemudian bilang, nanti kami akan kirim surat perjanjian kerjasamanya, Pak Teguh tolong tanda tangani surat tersebut, dan kalau bisa dikasih cap juga. Saya bilang, okay siap
Beberapa hari kemudian, penulis menerima surat yang dimaksud, tapi saya kaget ketika disitu disebutkan bahwa biaya kelasnya sebut saja Rp1,000, yang memang merupakan biaya yang penulis minta di awal. Padahal biaya yang disepakati, alias yang akan dibayarkan ke penulis, sebenarnya hanya Rp800. Saya kemudian bertanya, ini salah ketik apa gimana pak? Bapak A menjawab, nggak, angkanya bener segitu pak. Itu kan nanti kami akan minta reimburse Rp1,000 ke kantor, jadi kelas ini dibayar oleh perusahaan.
Lho, tapi kan yang saya terima sebagai pemateri cuma Rp800?
Betul pak, sisanya buat kami sebagai penyelenggara kelasnya.
Setelah mempertimbangkan sejenak, penulis memutuskan untuk gak jadi mengisi kelas tersebut, karena menurut saya aneh saja: Para calon peserta kelas ini sejatinya sudah diuntungkan karena bisa ikut kelas investasi saham gratis dimana biayanya ditanggung oleh perusahaan, jadi kenapa mereka masih berusaha mengambil keuntungan sebagai ‘penyelenggara kelasnya’?
Tapi mungkin, apa yang dilakukan oknum pegawai BUMN diatas adalah sesuatu yang oleh mereka sudah dianggap lumrah, karena pelakunya bukan cuma mereka saja, melainkan pegawai lainnya di BUMN lainnya juga. Nah, dalam hal ini, kita akan menggali laporan keuangan dari salah satu BUMN yang sekarang lagi heboh karena direktur utamanya ketahuan menyelundupkan sepeda motor Harley Davidson dari Perancis, cuma karena gak mau bayar bea masuk Rp50 juta. Pertanyaannya, apakah oknum di BUMN tersebut hanya sang dirut saja? Dan apakah kerugian negara yang ditimbulkan juga hanya Rp50 juta saja, sedangkan BUMN-nya sendiri gak rugi apa-apa? Well, mari kita cek lagi.
Garuda Indonesia: Salah Satu Perusahaan Paling Tidak Efisien di BEI
Pada Februari 2011, Garuda Indonesia (GIAA) menggelar IPO dengan harga perdana Rp750, tapi setelah mempelajarinya, penulis simpulkan bahwa sahamnya tidak layak invest karena hal-hal berikut: Bisnis maskapai penerbangan itu biayanya mahal terutama di harga beli pesawat dibanding harga tiket penerbangan itu sendiri (semurah-murahnya harga pesawat ukuran kecil adalah Rp400 milyar per unit, jadi dengan harga tiket katakanlah Rp1 – 2 juta per orang per perjalanan, maka bisa dibayangkan butuh waktu berapa lama buat balik modal, belum lagi biaya operasional yang mahal), dan biaya bahan bakar, terutama karena harga minyak dunia ketika itu masih diatas $100 per barel. Kemudian GIAA juga harus bersaing dengan low cost carrier (LCC) seperti Lion Air dan Air Asia, yang harga tiketnya hanya setengahnya, dan penulis sendiri di tahun 2011 tersebut gak pernah mau naik Garuda, karena ngapain bayar Rp1 juta cuma buat dapet kursi yang sedikit lebih empuk dan lega, plus monitor untuk nonton film lawas, kalau disisi lain kita bisa bayar Rp500,000 untuk penerbangan Lion Air yang persis sama, namun hanya minus dua fasilitas diatas? Dan memang ketika itu, GIAA terus mencatatkan kerugian nyaris saban tahun. Anda bisa baca lagi ulasannya disini.
Jadi ketika GIAA kemudian langsung drop ketika sahamnya melantai di bursa, maka penulis tidak heran dengan hal tersebut, dan kita kemudian mengabaikan GIAA ini. Hingga pada tahun 2012, penulis mulai melirik lagi GIAA ini karena melihat bahwa manajemennya banyak melakukan reformasi dengan menerapkan strategi berikut: 1. Meningkatkan dominasi atas pasar domestik, 2. Meningkatkan pelayanan di pasar internasional, 3. Memasuki pasar low cost carrier (penerbangan murah) melalui PT Citilink Indonesia, 4. Meremajakan dan menambah armada pesawat, 5. Memperkuat brand ‘Garuda Indonesia’ melalui promosi dan peningkatan pelayanan, 6. Meningkatkan efisiensi biaya, 7. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pada titik ini saya masih belum tertarik untuk membeli saham GIAA, karena perusahaan masih merugi, tapi penulis berharap bahwa dalam 2 – 3 tahun berikutnya, GIAA mungkin akhirnya akan profit juga. Anda bisa baca lagi ulasannya disini.
Waktu berlalu, dan bagaimana realisasinya? Well, sampai tahun penuh 2018 lalu, GIAA ternyata masih saja merugi $179 juta (dan itu adalah angka rugi yang sangat besar, mengingat ekuitas perusahaan hanya $683 juta). Dan meskipun pada Kuartal III 2019 ini GIAA membukukan laba, tapi mengingat kinerja historisnya yang sangat tidak stabil dimana perusahaan sering membukukan laba di kuartal tertentu, tapi berbalik jadi rugi di kuartal berikutnya, maka penulis ragu apakah tahun 2019 ini GIAA bakal tetap membukukan laba, apalagi sebelum ramai skandal Harley Davidson, sebelumnya manajemen GIAA ketahuan merekayasa laporan keuangannya untuk tahun 2018 lalu.
Lalu kenapa kok GIAA ini rugi terus? Well, entahlah. Tapi kalau kita lihat lagi environmentdari industri transportasi udara itu sendiri, maka tidak semestinya Garuda merugi. You see, antara tahun 2014 – 2018, GIAA rata-rata mengangkut 19 juta penumpang setiap tahunnya, yang turun sedikit menjadi 18 juta pada tahun 2018 karena kenaikan harga tiket pesawat, dan kemungkinan turun lagi pada tahun 2019 ini. Namun mengingat kenaikan harga tiket tersebut sangat signifikan (hampir dua kali lipat) dibanding penurunan jumlah penumpang yang terjadi, maka pendapatan GIAA harusnya tetap naik signifikan, dan memang tahun 2018 kemarin GIAA mencatat rekor pendapatan $4.3 milyar, yang kemungkinan akan kembali naik menjadi $4.7 milyar di tahun 2019 ini (pendapatan $3.5 milyar di Q3, disetahunkan). Disisi lain, harga minyak dunia sudah sejak tahun 2016 lalu drop ke level $50 – 60 per barel, dan tidak pernah naik lagi, sehingga logikanya biaya bahan bakar bakal turun. Dan terakhir, karena GIAA sekarang punya dua unit usaha di segmen LCC yakni melalui Citilink dan Sriwijaya Air, maka pangsa pasar GIAA otomatis menjadi lebih luas, dan harusnya perusahaan akan mampu bersaing dengan LCC lainnya.
Jadi dengan kondisi seperti diatas, harusnya GIAA sudah profit sejak lama, dan sahamnya mungkin sudah di level 1,500-an. Tapi nyatanya, meski pendapatan perusahaan memang kembali mencetak rekor tertinggi tahun ini, tapi tidak hanya biaya bahan bakar tidak turun,GIAA juga harus menanggung banyak biaya yang tidak perlu. Contohnya, pada Q3 2019, perusahaan mencatat biaya operasional hotel $24 juta, sedangkan pendapatannya dari usaha hotel cuma $12 juta. Jadi pertanyaannya ada dua: 1. Ngapain GIAA punya hotel? Dan 2. Kalau hotelnya merugi, kenapa masih dipertahankan sampai sekarang? Kemudian, GIAA mencatat beban komisi tiket, penjualan dan promosi dengan angka yang sangat besar, $243 juta, dan biaya pelayanan penumpang $202 juta, dimana kalau kita bandingkan dengan laporan laba rugi dari PT Airasia Indonesia, Tbk (CMPP), maka dua jenis biaya ini tidak ada! Okay, memang kalau kita naik Garuda, itu dikasih makan, sedangkan kalau naik AirAsia harus puasa. But let see: Tahun 2018, GIAA mengangkut 18.9 juta penumpang, dan perusahaan harus membayar biaya ‘pelayanan penumpang’ hingga $292 juta, sehingga 'biaya pelayanan penumpang' per satu orang penumpang adalah sekitar $15, alias Rp220,000. Nah, really?? Memangnya kalau kita naik Garuda terus dikasih makan lobster gitu?? Mungkin perlu juga dicatat bahwa, di LK GIAA, beban pelayanan penumpang ini berbeda dengan beban yang sudah ada seperti bahan bakar, biaya bandara, biaya perawatan pesawat, biaya administrasi, dan seterusnya, dimana di LK CMPP juga ada beban-beban tersebut. Tapi sekali lagi, di LK CMPP, tidak ada beban ‘komisi’, ataupun beban pelayanan penumpang secara terpisah (itu masuknya beban operasional penerbangan, dan dengan angka nominal yang juga jauh lebih kecil).
Sehingga kesimpulannya, problem di GIAA ini bukan terletak di industri transportasi udara itu sendiri, tapi lebih ke orang-orang didalamnya yang kemungkinan dengan sengaja membebankan biaya yang aneh-aneh ke perusahaan, tapi duitnya mereka tilep sendiri. Secara logika saja, kalau memang maskapai penerbangan itu rugi semua, maka gak mungkin Om Rusdi Kirana, atau Pak Cik Tony Fernandes masuk majalah Forbes. Padahal dalam banyak aspek, posisi Garuda jelas-jelas lebih unggul dibanding Lion Air, ataupun Air Asia.
Anyway, seperti yang disebut diatas, problem yang dialami GIAA ini kemungkinan merupakan cerminan dari problem umum yang dialami semua BUMN di Indonesia, yakni:Perusahaannya sangat tidak efisien dimana ada banyak sekali biaya-biaya yang sebenarnya tidak perlu. Dan alhasil, tak peduli pendapatannya sebesar apa, dan tak peduli meski perusahaannya hampir monopoli sekalipun (misalnya Pertamina, PLN), tapi ya tetep saja laporan keuangannya merugi. Termasuk Bank BRI (BBRI) atau PT Bukit Asam (PTBA) sekalipun, yang meski labanya sangat besar, tapi penulis kira itu karena bisnisnya yang kelewat gampang saja (kredit mikro, dan gali batubara), sehingga ya keterlaluan kalau mereka sampai rugi juga. Tapi kedua perusahaan itu bisa saja labanya lebih besar lagi kalau manajemennya benar-benar bersih.
Prospek BUMN Setelah Skandal Garuda
Dan problem di BUMN diatas kemungkinan memang sudah terjadi sejak jaman Sandiwara Saur Sepuh masih bisa kita dengar di radio, boleh dibilang tanpa adanya upaya perbaikan sama sekali, dan dampak negatifnya sebenarnya sangat mudah terlihat. Contohnya, Perusahaan Gas Negara (PGAS) adalah perusahaan migas yang sudah berdiri sejak jaman Belanda, tepatnya tahun 1850. Tapi ketika Royal Dutch Shell yang sama-sama didirikan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1907, dan pada hari ini sudah menjadi salah satu oil giant kelas dunia, maka PGAS ya masih gitu-gitu saja. Lalu Pertamina, yang pada tahun 1960-an sempat menjadi ‘guru’ bagi Petronas Malaysia, tapi sekarang sudah jauh ketinggalan dibanding anak didiknya tersebut. Nah, kalau mengingat Indonesia itu jauh lebih besar dibanding Belanda dan juga Malaysia, dengan jumlah penduduk yang juga jauh lebih besar sehingga PGAS dan Pertaminan bisa maju pesat bahkan meskipun mereka hanya beroperasi di dalm negeri, maka tentu ada something wrong disini.
However, era ‘tilep-menilep’ di BUMN mungkin akan segera berakhir. Yup, ketika pada 21 Oktober lalu diumumkan daftar, maka penulis termasuk yang antusias ketika melihat nama Menteri BUMN yang baru (saya sampai posting di IG, boleh anda cek sendiri), and why is that? Karena beliau ini jenius (kalo gak pinter, gak akan kaya lah), idealis, dan juga tipikal aktif pekerja keras. Penulis tidak akan memperinci kenapa saya bisa beranggapan demikian, karena artikel ini bukan tentang beliau. Tapi intinya adalah, ketika dalam beberapa waktu ini pak Menteri banyak melakukan perombakan di BUMN-BUMN, terutama dengan mengganti jajaran direksi dan komisarisnya dengan orang-orang yang lebih kompeten, maka itu memang sesuai dengan harapan penulis sebelumnya, yang berharap bahwa beliau akan banyak melakukan gebrakan untuk membereskan ratusan BUMN di Indonesia. Sudah tentu, tidak ada jaminan bahwa para direktur dan komisaris yang baru ini akan bekerja lebih baik dibanding pendahulunya, tapi itu lebih baik daripada membiarkan direksi yang sudah ada, sedangkan kinerja mereka jelas-jelas bobrok semua.
Jadi jika Pak Menteri bisa melanjutkan kinerjanya, maka dalam beberapa waktu kedepan, kita mungkin akan melihat ‘skandal-skandal Harley’ berikutnya, yang melibatkan BUMN lainnya lagi (karena skandalnya memang sudah ada, cuma belum ketahuan saja). Sedangkan dalam jangka panjang, maka jika semuanya lancar, dalam lima hingga sepuluh tahun kedepan, kita akan menyaksikan para BUMN membukukan kinerja yang jauh lebih efisien, dan laba bersihnya juga menjadi besar seperti yang sudah seharusnya. Di BEI sendiri saat ini ada sekitar 20-an emiten BUMN, tapi hanya kurang dari separuhnya yang cukup layak untuk investasi, dan yang layak untuk legacy stock alias investasi jangka panjang, jumlahnya lebih sedikit lagi. Tapi jika trend ‘bersih-bersih’ ini terus berlanjut, maka suatu hari nanti kita mungkin akan melihat salah satu BUMN naik kelas menjadi world class corporation, dan sebagai investor tentunya kita akan bisa menikmati kenaikan harga sahamnya yang konsisten dalam jangka panjang, plus dividen. Mudah-mudahan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar