Saya ini
penulis amatir. Banyak salah ketik. Salah redaksional. Gaya bahasanya nggak bagus. Nggak sesuai EYD. Nggak komersial. Banyak typo sana-sini.
Menulis bagi
saya hanya salah satu “me time” saya setelah seharian menggarap ladang. Lelah memacul dan bertemu beragam orang di
ladang. Yang kemudian saya tuliskan
pengalaman saya sebelum saya tidur malam. Hanya 30 menit tidak sampai. Selesai satu diary satu topic kecil. Kadang tidak sempat membaca ulang atau menge
cek speling yang sering salah ketik. Lalu saya up load ke status sebagai “buku
harian”.
Setelah itu,
saya tidak pernah membacanya lagi. Karena sudah menyusul up load an tulisan
baru lagi yang lainnya. Biasanya diselingi video. Komentar sahabat pun jarang saya baca. Mohon maaf untuk hal ini ya. Saya kurang teliti dan tidak sempat. Waktu saya hanya sedikit sekali untuk ada di
sosmed.
Rata-rata
panjang tulisan saya 3-4 lembar folio. Lebih
dari itu pasti saya bilang kepanjangan. Dan
saya-nya kecapean. Lah saya ini khan
bukan penulis. Saya nggak
passion-passion amat menulis itu. Hanya
peristiwa keseharian saya saja kebetulan banyak yang bisa ditulis. Itu sangat saya syukuri karena kehadiran orang
disekeliling saya lah tulisan menjadi terlahir.
Karena
peristiwa dan keputusan-keputusan harian yang kecil-kecil lah menjadi sebuah
catatan diary saya. Yang jadi masalah
saya lainnya lagi, saya ini bukan pembaca. Dulu saya suka baca, sekarang saya tidak
sempat.
Saya tidak
baca Koran, tidak baca news, saya nonton berita TV sekilas. Karena itu, tulisan saya kalau kaum akademisi
membaca adalah cetek sekali ilmunya si Sontoloyo ini.
Dan memang
benar, orang saya ini nggak ada referensi buku atau keilmuan dari manapun. Semuanya hanya ilmu kagetan. Ilmu “smart street” doang.
Ada satu
prinsip yang saya bawa dari dulu dalam urusan menulis. Yaitu karena saya ini
bodo dan Sontoloyo, maka saya harus berkumpul sama banyak orang pinter. Saya harus berkumpul sama orang yang lebih
sukses dari saya. Saya berkumpul hanya
dengan orang yang networknya lebih luas dari saya. Saya harus ngumpul dengan
orang yang memiliki “power”. Saya harus
berkumpul dengan orang yang banyak duitnya. Sehingga agar ilmu dan informasi tidak hilang
ya saya tulis.
Untuk itu,
kenalan saya tidak saya batasi. Tapi,
kalau teman ngumpul saya pilih.
Curang
banget ya saya itu. Kalau istilah Cinta-Dian Sastro, apa yang saya lakukan itu
JAHAT.
Abis gimana
dong. Orang saya ini bodoh kok. Nggak pinter. Masih harus banyak belajar. Saya jadi ngumpul sama orang-orang yang “lebih
segalanya” dari saya jadinya. Itu kalau
prinsip belajar.
Kalau
prinsip bisnis bagaimana? Ada juga sih
jurus saya. Salah satunya, saya tidak
akan berbisnis dengan orang yang “kenyang”.
Bagi saya,
orang yang kenyang itu bukan mitra yang baik. Orang yang kenyang itu sudah
padam apinya. Orang kenyang itu, orang yang sudah umuran. Yang ia menyatakan
sudah ingin pension karena semua sudah didapat. Orang kenyang itu anak orang kaya, yang dari
dulu nggak tahu rasanya lapar dan hingga saat ini masih makan pakai
"golden plate & silver spoon”. Orang
nggak tahu susah.
Orang yang
kenyang itu pejabat yang sudah nyaman dipuncak posisinya. Atau profesional yang merasa sudah nyaman akan
karirnya. Atau orang biasa saja tapi
nggak mau ngapa-ngapain lagi. Dia mungkin tidak sukses banget. Biasa saja. Tapi nggak ada apinya lagi. Sudah nggak ada baranya lagi. Gerah saya deal sama orang seperti ini.
Sebaliknya,
kalau bertemu dengan yang lapar... Wah ini prioritas saya. Orang lapar itu orang yang buas. Ini yang saya suka. Bukan saja dia masih berkekurangan lalu gigih,
tapi orang yang sudah sangat berkelebihan masih saja lapar. Ini orang pasti orang kreatif. Pasti orang out
of the box. Pasti seorang pejuang
kemakmuran yang “militant”. Dia pasti
besar appetite nya. Ini yang saya suka.
Bersama
orang seperti ini, melihat dunia selalu optimis, bergairah, bersemangat. Selalu
banyak ide, selalu mencari sesuatu yang baru. Dunia menjadi mainan yang
mengasyikan baginya.
Dunia benar
benar diletakan di tangan, bukan di hatinya. Di hati itu tempat khusus untuk
yang lain lagi. Untuk masalah spiritual. Dan spiritual adalah masalah pribadi.
Jadi, banyak
khan bahan tulisan? #peace
Penulis : Mardigu Wowiek Prasantyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar