Tanggal 8 Januari lalu, ketika IHSG berada di level 4,500-an, penulis membuat artikel berjudul Fase Putus Asa Sudah Lewat, Lalu?, dimana intinya adalah bahwa IHSG sedang dalam periode konsolidasi, dan periode konsolidasi ini bisa berujung pada kenaikan atau lanjut turun lagi. Namun dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dll, penulis mengatakan bahwa bahwa konsolidasi tersebut akan berujung pada kenaikan (anda bisa baca lagi artikelnya disini). And here we are: Ketika artikel ini ditulis, IHSG sudah naik signifikan dan berada di level 4,800-an.
However, disini kita tidak akan membahas soal IHSG-nya. Dalam artikel tanggal 8 Januari tersebut, penulis menampilkan gambar berikut, klik gambar untuk memperbesar:
Okay, perhatikan: Pada gambar diatas disebutkan bahwa terdapat tiga kelompok investor di pasar modal yakni smart money, investor institusi, dan investor publik. Smart money sudah membeli saham jauh sebelum dua kelompok investor lainnya mulai belanja, yakni ketika posisi IHSG masih rendah, alias masih ini dibawah garis mean-nya (mean disini kita pakai moving average untuk 200 trading day alias setahun, karena asumsinya adalah jika periode bear market sudah confirm berakhir, maka kita bisa beli saham kemudian disimpan untuk minimal setahun kedepan).
Sementara investor institusi baru masuk ketika IHSG sudah take off, atau bahasa teknikalnya, sudah break out. Dan investor publik adalah yang masuknya paling belakangan, yakni ketika IHSG sudah naik terus hingga akhirnya menimbulkan antusiasme orang-orang di market, atau dengan kata lain, ketika IHSG benar-benar sudah bullish. Dari sini cukup jelas bahwa kelompok investor yang meraup keuntungan terbesar adalah kelompok smart money, sementara investor publik kebanyakan hanya menikmati keuntungan yang relatif sedikit, karena mereka baru membeli saham ketika harganya sudah tidak terlalu murah lagi.
Lalu siapa sebenarnya smart money ini? Dan bagaimana bisa mereka belanja lebih awal ketika kebanyakan orang masih ragu-ragu tentang arah pasar?
Smart money ini bisa siapa saja, entah itu investor institusi dengan dana kelolaan trilyunan, atau investor perorangan dengan modal ala kadarnya. However, terdapat satu hal yang membedakan mereka dengan investor kebanyakan: Smart money mampu fokus pada kondisi fundamental ekonomi ketimbang pergerakan IHSG itu sendiri, sama seperti mereka mampu fokus pada kinerja fundamental suatu perusahaan, ketimbang naik turunnya harga saham dari perusahaan yang bersangkutan.
Sementara investor/trader kebanyakan, mereka hanya melihat posisi IHSG dan harga-harga saham, seringkali tanpa memperhatikan faktor fundamental sama sekali, dimana kalau IHSG sedang jeblok maka mereka akan panik dan ramai-ramai keluar dari pasar, dan sebaliknya ketika IHSG sudah naik, maka barulah mereka akan masuk lagi. Contoh paling gampang, pada Maret 2015 lalu, IHSG terus saja break new high ke level 5,400-an, alias tampak bagus, dan alhasil orang-orang ketika itu terus saja belanja saham tak peduli meski Rupiah terus saja melemah, daya beli masyarakat turun, dan bisnis apapun mulai lesu. Kita pernah membahas soal itu disini. Dan ketika pasar kemudian benar-benar jatuh pada penghujung April 2015, maka barulah orang-orang berhamburan keluar, tapi itu sudah terlambat!
Kemudian beberapa bulan berikutnya, IHSG terus saja turun, Rupiah juga terus saja melemah, hingga akhirnya orang-orang mulai khawatir bahwa Indonesia bisa saja jatuh ke lembah krisis seperti tahun 1998, padahal perlambatan ekonomi yang terjadi tidaklah seburuk itu (kita pernah membahasnya disinipada September lalu, dimana penulis mengatakan bahwa meski Rupiah terus saja melemah, tapi tidak akan sampai berujung pada krisis). Puncaknya adalah ketika terjadi panic selling di bulan Agustus dan September, dimana kondisi pasar ketika itu benar-benar kebalikan dengan apa yang terjadi di bulan Maret: Panik, pokoknya panik!
Beruntung, memasuki Kuartal III 2015 hingga awal tahun 2016, kondisi ekonomi perlahan tapi pasti membaik, kinerja emiten juga mulai pulih, dan IHSG juga perlahan tapi pasti mulai naik meski dengan beberapa kali setback, salah satunya pada Januari lalu dimana IHSG terseret oleh penurunan Indeks Shanghai dan Dow Jones. Dan lagi-lagi, ketika itu orang-orang kembali panik hanya karena IHSG turun sedikit, tanpa bisa melihat bahwa itu justru merupakan peluang. Yang paling terbaru, ketika kemarin ada pejabat ngomong bahwa NIM perbankan akan dibatasi, maka saham-saham bagus seperti BBRI, BBNI, BMRI, dan BBCA langsung berjatuhan, dan tidak sedikit yang justru keluar dari saham-saham perbankan pada harga rendah ketika seharusnya mereka masuk, mumpung dikasih harga murah!
Singkatnya, ketika orang kebanyakan hanya melihat posisi IHSG dan kemudian menjadi optimis/pesimis karenanya, para smart money selalu bisa curi start, dimana mereka jualan lebih awal sebelum IHSG turun, dan sebaliknya, mereka belanja lebih awal sebelum IHSG naik. Ketika orang kebanyakan entah kenapa melihat BBRI sebagai ‘barang jelek’ ketika sahamnya dijual pada harga 8,000, ASII 5,000, dan UNVR 34,000, maka ketika itulah para smart money diam-diam masuk. Dan ketika beberapa bulan kemudian orang-orang akhirnya ramai membicarakan soal kenaikan saham-saham tertentu, para analis sekuritas mulai mengatakan bahwa ‘IHSG akan ke 5,000’, maka para smart money sudah ambil posisi jauh hari sebelumnya, tentunya pada harga yang jauh lebih rendah, dan alhasil profitnya juga jauh lebih besar.
Lalu kedepannya, terserah IHSG mau lanjut naik atau turun lagi, namun para smart money tetap akan fokus pada faktor fundamental, dimana jika kinerja para emiten tidak sesuai harapan dan perkembangan ekonomi tampak memburuk lagi, maka tak peduli meski IHSG ketika itu sedang mencoba untuk break new high lagi, mereka akan segera keluar. Tapi kalau nggak ya hold saja.
How to be smart money?
How to be smart money?
Pertanyaannya sekarang, bagaimana caranya agar kita menjadi smart money? Well, salah satu kuncinya adalah anda harus mampu melawan arus psikologis pasar. Namun memang itu tidaklah mudah, dan penulis sendiri sampai sekarang masih belajar untuk menjadi smart money tersebut. Tapi berdasarkan pengalaman, inilah yang bisa anda lakukan:
Yang pertama, dan ini adalah kesekian kalinya penulis mengatakan ini, jangan pernah membeli saham tanpa analisis. Dan terkait pergerakan IHSG, maka anda juga harus bisa menganalisa fundamental ekonomi nasional, termasuk bisa mengamati perkembangan bisnis di lapangan, dan mampu mengidentifikasi isu-isu ekonomi yang penting, kemudian menilai bagaimana pengaruhnya terhadap IHSG. Plus, anda juga harus bisa mengidentifikasi isu-isu ekonomi global, seperti penurunan harga minyak, kenaikan Fed Rate, koreksi Bursa Shanghai di China, dan seterusnya. Singkatnya, anda harus banyak membaca. Sebagai investor, anda harus menggunakan waktu anda untuk memperluas wawasan, dan bukannya malah nongkrongin naik turunnya saham seharian.
Kedua, perbanyak pengalaman. Diatas penulis mengatakan bahwa orang kebanyakan hanya melihat posisi IHSG dimana mereka akan euforia ketika IHSG naik, dan sebaliknya panik ketika IHSG jeblok, sementara para smart money mampu untuk fokus pada sesuatu yang jauh lebih penting, yakni fundamental ekonomi, dan mereka kemudian banyak menjual ketika posisi IHSG sudah terlalu tinggi dan tidak lagi mencerminkan fundamental ekonomi, dan sebaliknya banyak membeli ketika kemudian posisi IHSG sudah cukup rendah, sementara perkembangan ekonomi mulai membaik.
Tapi untuk bisa fokus seperti itu maka diperlukan bekal pengetahuan serta pengalaman yang cukup. Kalau anda baru 1 – 2 tahun di pasar, biasanya anda akan mudah panik ketika orang lain panik, dan sebaliknya mudah euforia ketika orang lain euforia, dan itu sepenuhnya normal, dimana yang perlu anda lakukan hanyalah keep going,teruslah berinvestasi dan belajar segala sesuatu tentang pasar modal, hingga akhirnya anda akan sampai pada posisi dimana anda menjadi lebih sabar dan tidak gampang panik lagi.
Hanya memang, kalau anda sudah cukup lama di market, katakanlah lebih dari 5 tahun tapi sampe sekarang anda masih gampang jantungan, maka coba cek lagi, mungkin selama ini anda menggunakan metode investasi yang keliru.
Dan ketiga, hati-hati dengan kenaikan harga saham yang tidak ditopang oleh faktor fundamental. Dalam kondisi pasar yang sedang turun, maka hampir semua saham tak peduli fundamentalnya bagus atau jelek, biasanya akan ikut turun, dan beberapa orang mungkin melakukan kesalahan dengan menjual saham bagus pada harga rendah, hanya karena khawatir bahwa dia akan turun lebih dalam lagi.
Sementara ketika pasar sedang naik, maka hampir semua saham, tak peduli fundamentalnya bagus atau jelek, akan ikut naik. Pada kondisi inilah sebagian orang mungkin akan terjebak membeli ‘barang blangsak’ hanya karena silau melihat dia naik hingga puluhan persen hanya dalam hitungan hari. Sebenarnya ada juga pelaku pasar tipe spekulan yang hobinya mengejar ‘saham-saham terbang’ seperti ini dengan sepenuhnya mengabaikan faktor fundamental, dan mereka mungkin memang sukses memperoleh gain besar. Tapi suka atau tidak, sebagian besar lainnya justru akan menderita kerugian dan juga stress, karena harus melihat sahamnya setiap saat. Well, penulis tidak menyarankan agar anda ikut-ikutan stress seperti itu karena, trust me, profit yang kita peroleh dari saham akan terasa lebih manis kalau kita memperoleh profit tersebut dengan cara duduk santai sambil membaca sepanjang hari, jalan-jalan, atau sambil tetap melakukan kegiatan di kantor atau dirumah seperti biasa :)
Okay, I think it’s enough. Kecuali ada topik lain yang lebih menarik, minggu depan kita akan membahas salah satu saham yang sampai sekarang masih belum menjadi perhatian pasar, tapi berdasarkan kaidah value investing, dia sejatinya menawarkan risiko yang rendah plus profit yang lumayan dalam jangka menengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar