Dear investor, penulis (Teguh Hidayat) menyelenggarakan training/
Kisi-kisi materi yang akan disampaikan untuk seminar kali ini:
Bonus Materi: Sharing pengalaman penulis ketika menghadapi panic selling pada Agustus – September 2015 kemarin, dimana kita sukses membeli banyak saham-saham bagus pada harga super duper diskon. Seluruh materinya akan disampaikan dengan cara yang santai, menyenangkan, dan mudah dimengerti.
Okay, berikut keterangan mengenai lokasi dan jadwal acaranya:
Biaya untuk ikut acara ini hanya Rp500,000 per peserta. Gratis souvenir
Bonus: Bagi anda yang belum membaca buku ‘The Calm Investor’, maka anda juga bisa membelinya di acara ini, cukup dengan menambah Rp50,000 (sehingga anda transfernya Rp550,000), dan nanti bukunya akan langsung diberikan di lokasi.
Dan berikut cara daftarnya:
1. Lakukan payment dengan cara transfer ke (salah satu):
Bank BCA no rek 139.229.1118
Bank Mandiri no rek 132.000.7062.087 Ba
Semuanya atas nama Teguh Hidayat
2. Segera kirim email ke teguh.idx@gmail.com dengan subjek Daftar Seminar Calm Investor, dan isi: Nama lengkap anda, nama bank tujuan transfer. Contoh: Donald Trump, BCA. Anda nggak perlu kirim bukti transfer, karena kami bisa langsung mengecek transferan anda melalui internet banking.
3. Anda akan menerima email konfirmasi bahwa pembayaran anda sudah diterima, dan bahwa anda sudah terdaftar sebagai peserta seminar. Selanjutnya, anda bisa datang ke lokasi acara pada waktu yang sudah ditetapkan (sehari sebelum acaranya, kami akan mengirim email reminder untuk mengingatkan anda soal acara ini).
4. Jika anda mendaftar namun ternyata pesertanya sudah penuh maka uang anda akan dikembalikan alias ditransfer balik. Tempat terbatas, hanya untuk 30 orang peserta.
Demikian, sampai jumpa di lokasi!
Bonus:
Terakhir, ada yang mau ditanyakan terlebih dahulu? Anda bisa menghubungi Miss Nury di no telp/SMS 081220445202 atau Pin BB 5BDF54F4. Konfirmasi setelah anda melakukan pembayaran juga bisa melalui kontak telepon/BBM tersebut.
Atau anda bisa langsung bertanya kepada penulis (Teguh Hidayat) melalui email teguh.idx@gmail.com.
Untuk melihat foto-foto penyelenggaraan seminar sebelumnya, klik disini.
| ||
Posted: 14 Mar 2016 01:23 AM PDT
Berkshire Hathaway sudah merilis annual letter-nya untuk tahun 2015 pada 27 Februari lalu (beruntung bagi kita, di usianya yang ke-85 tahun, Opa Buffett masih sehat walafiat dan juga masih rutin menulis), dan ada beberapa poin dalam annual letter tersebut yang cukup menarik. Salah satunya, yang akan kita bahas disini, adalah tentang sudut pandang Buffett tentang perekonomian Amerika yang, menurut penulis, juga bisa kita jadikan acuan untuk memandang bagaimana perekonomian di Indonesia di masa yang akan datang. Okay, kita langsung saja.
Tahun 2016 adalah tahun pemilihan Presiden di Amerika, dan para capres selalu berbicara tentang berbagai problem yang melanda negeri ini, seolah-olah Amerika sedang dalam kondisi yang benar-benar buruk. Karena itulah, sekarang ini ada banyak warga negara Amerika yang berpikir bahwa anak-anak mereka mungkin akan memiliki kehidupan (di masa depan) yang lebih buruk dibanding yang mereka miliki pada saat ini.
Namun itu sepenuhnya keliru. Para bayi yang terlahir hari ini di Amerika merupakan generasi yang paling beruntung dalam sejarah.
PDB Amerika saat ini adalah sekitar US$ 56,000 per kapita, atau enam kali lebih besar dibanding tahun 1930 (sudah termasuk memperhitungkan inflasi), yakni tahun dimana saya lahir, dan itu adalah suatu lompatan yang bahkan sangat jauh melampaui impian paling gila dari orang tua saya dan orang-orang lainnya di zaman itu. Warga negara Amerika pada hari ini tidak lebih cerdas ataupun bekerja lebih keras dibanding mereka yang hidup di tahun 1930-an, namun mereka bekerja lebih efisien,dan karenanya memproduksi lebih banyak barang dan jasa. Contoh riil: Para partner kami di Kraft-Heinz telah sukses dalam menekan inefisiensi, yang pada akhirnya meningkatkan volume produksi per jam kerja.
Contoh lainnya, pada tahun 1900, jumlah tenaga kerja di Amerika tercatat 28 juta jiwa, dimana 11 juta atau 40% diantaranya bekerja di sektor pertanian. Komoditas utama pertanian ketika itu, seperti halnya sekarang, adalah jagung. Terdapat lahan seluas 90 juta acre yang mampu memproduksi 2.7 milyar gantang jagung (satu gantang setara 35 – 36 liter), atau dengan kata lain, ketika itu satu acre lahan hanya mampu menghasilkan 30 gantang jagung per tahun.
Kemudian diciptakanlah mesin traktor, teknik penanaman, panen, irigasi, pemupukan, hingga kualitas benih yang lebih baik, dan berbagai inovasi tersebut mampu meningkatkan produktivitas lahan perkebunan jagung secara sangat signifikan. Hari ini terdapat 85 juta acre lahan perkebunan jagung di seluruh Amerika, namun satu acre lahan mampu menghasilkan 150 gantang jagung per tahun. Para petani juga telah menghasilkan peningkatan produktivitas yang kurang lebih sama untuk produk-produk pertanian lainnya.
Namun peningkatan produktivitas lahan itu baru separuh cerita. Dalam lebih dari 100 tahun terakhir, jumlah tenaga kerja di sektor pertanian telah turun drastis dari 11 juta jiwa menjadi hanya 3 juta pada hari ini, atau hanya 2% dari tenaga kerja Amerika secara keseluruhan (dibanding 40% pada tahun 1900). Teknologi pertanian yang lebih maju (dan juga lebih efisien) telah memungkinkan puluhan juta tenaga kerja untuk menggunakan waktu dan keahlian mereka di bidang usaha yang lain, dan realokasi tenaga kerja tersebut memungkinkan warga Amerika untuk menikmati produk-produk dan jasa non-pertanian dalam jumlah yang jauh lebih besar dibanding tahun 1900.
Dan memang, saat ini sebagian besar anak-anak di Amerika memiliki kehidupan yang sangat layak. Seluruh keluarga di lingkungan menengah keatas di daerah tempat saya tinggal memiliki ‘living standard’ yang lebih baik dibanding living standard-nya John D. Rockefeller pada tahun 1930. Nyatanya, sebagai orang terkaya di Amerika sepanjang sejarah, namun tetap saja Rockefeller tidak pernah mampu membeli atau memiliki barang dan jasa yang bisa kita miliki pada saat ini, seperti kendaraan untuk transportasi, barang-barang elektronik untuk hiburan, alat komunikasi, hingga layanan kesehatan, karena ketika itu berbagai barang dan jasa tersebut belum ada.
Dan dalam beberapa waktu kedepan, berbagai jenis produk dan jasa tersebut akan meningkat lebih banyak lagi. Hanya memang, meski ‘kue’ yang akan diperoleh oleh generasi-generasi mendatang akan lebih besar dibanding hari ini, namun potongan kue tersebut tidak akan tersebar secara merata. Akan terdapat kompetisi antara orang-orang yang dalam usia produktifnya dan para pensiunan, para ahli waris dan orang-orang yang harus memulai segalanya dari nol, para pemilik modal dan kaum pekerja, dan, yang paling penting, kompetisi antara orang-orang yang punya keahlian (untuk bekerja) di bidang tertentu, dan yang tidak. Berbagai kompetisi tersebut akan terus ada untuk selamanya, dan akan selalu ada pihak-pihak yang kalah dan tersingkirkan.
Kabar baiknya adalah bahwa para pihak yang kalah ini tetap akan menikmati produk-produk barang dan jasa yang lebih baik di masa depan. Tidak ada yang mampu menyamai sistem ekonomi dalam hal memproduksi barang dan jasa yang diinginkan orang banyak, ataupun dalam hal memproduksi sesuatu yang orang-orang belum mengetahui bahwa mereka menginginkannya. Orang tua saya, ketika mereka masih muda, tidak pernah berpikir bahwa mereka membutuhkan televisi, sama seperti halnya saya tidak pernah berpikir untuk membeli komputer, ketika saya dulu masih berusia 50 tahunan. Namun televisi dan komputer, setelah orang-orang mengetahui apa yang bisa dilakukan kedua barang tersebut, akan dengan cepat mengubah cara hidup masyarakat secara keseluruhan. Saya sekarang menghabiskan sepuluh jam per minggu untuk bermain kartu bridge secara online dan, ketika saya menulis annual letter ini, saya baru menyadari tentang betapa bermanfaatnya fitur ‘search’ di internet.
Bagaimana dengan Indonesia?
Melalui tulisannya diatas, Buffett secara tidak langsung menyampaikan bahwa meski Amerika pada hari ini merupakan salah satu negara paling makmur di dunia, namun pada tahun 1900 – 1930, Amerika sama sekali belum menjadi negara yang maju. Dan berbagai kemajuan yang dicapai oleh para Americans selama kurang lebih 100 tahun terakhir bukanlah karena mereka bekerja lebih keras, tapi karena mereka bekerja lebih efisien dan karenanya lebih produktif dalam menghasilkan barang dan jasa, dan itu pada akhirnya meningkatkan living standard masyarakat Amerika secara keseluruhan.
Dan meski terdapat kompetisi dimana akan selalu ada pihak-pihak yang tersingkirkan, namun para pihak-pihak yang kalah ini tetap akan mengalami peningkatan gaya hidup. Contohnya televisi dan komputer, dimana meski dua barang itu terhitung barang mewah di masa lalu, namun saat ini hampir seluruh warga negara Amerika bisa memilikinya, termasuk kalangan menengah kebawah sekalipun. Dan meski Opa Buffett sendiri agak ketinggalan dalam hal memanfaatkan internet, namun toh sekarang ini dia mulai terbiasa dalam menggunakan Mbah Google.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Well, anda bisa melihatnya sendiri: Bagaimana living standard warga negara Indonesia pada saat ini dibandingkan dengan tahun 1990-an dulu, atau lebih lama lagi, tahun 1970-an dulu? Penulis kasih ilustrasi mudah. Pada tahun 1970-an, sepeda motor masih merupakan barang mewah yang harganya, setelah memperhitungkan faktor inflasi, sekitar Rp100 juta per unit. Jadi pada jaman itu cuma orang kaya yang bisa punya motor. Tapi sekarang? Semua orang bisa punya motor, atau bahkan lebih ekstrim lagi: Sekarang ini motor sudah seperti simbol bagi kelas menengah kebawah, karena kelas menengah keatasnya sudah pake mobil semua (melihat fakta ini penulis jadi penasaran: Apakah suatu hari nanti mobil juga akan bernasib seperti motor, yakni menjadi simbol bagi kalangan menengah kebawah?). Contoh lain, pada tahun 1990-an, cuma orang-orang tertentu yang bisa punya ponsel (yang modelnya kayak batu bata itu). Sementara sekarang? Well, ada nggak orang yang anda kenal yang gak punya ponsel?
Keberadaang barang-barang seperti sepeda motor/mobil dan ponsel, pada akhirnya meningkatkan living standard warga Indonesia. Dan peningkatan living standard tersebut adalah karena adanya peningkatan teknologi dan kualitas tenaga kerja yang pada akhirnya mendorong efisiensi, yang menyebabkan produsen bisa memproduksi lebih banyak sepeda motor/ponsel pada biaya produksi yang lebih murah (kalau sebelumnya harus impor secara penuh, maka sekarang bisa dirakit disini), dan alhasil harga jualnya juga turun sehingga lebih terjangkau oleh orang banyak.
Menariknya, hingga saat ini sekitar 40% tenaga kerja Indonesia masih terkonsentrasi di sektor pertanian, atau sama seperti Amerika di tahun 1900. Dan kualitas SDM Indonesia juga masih rendah dimana kita belum bisa membuat produk hilir dari produk-produk tambang dan hasil perkebunan, atau membuat mobil/otomotif serta barang elektronik (baru bisa merakit). Sementara pasar modalnya? Sami mawon, dimana jumlah ‘tokoh sukses’ di bidang ini masih bisa dihitung dengan jari. Dan kondisi tersebut, sekali lagi, sama dengan Amerika pada 100 tahun yang lalu. Sebelum Ben Graham mulai mengajar value investing di Columbia Business School pada tahun 1928, hingga akhirnya menerbitkan buku ‘The Intelligent Investor’ pada tahun 1949, bursa Wall Street di Amerika sama sekali belum memiliki tokoh investor yang benar-benar sukses, padahal Wall Street itu sendiri sudah ada sejak tahun 1792. In fact, Warren Buffett sendiri baru dikenal diseluruh dunia sebagai investor besar sejak tahun 1990-an.
Balik lagi ke Indonesia. Namun jika pada 10 atau 20 tahun lalu kita masih belum bisa melihat Indonesia ini ‘akan kemana’, maka belakangan ini arah perkembangan ekonomi kita mulai kelihatan. Dulu para tenaga kerja Indonesia boleh dibilang sama sekali tidak mengerti soal teknologi, tapi sekarang mulai banyak developer aplikasi lokal, salah satunya aplikasi Gojek yang terkenal itu. Dulu developer properti tidak pernah fokus pada pembangunan kawasan perumahan yang modern (yang penting asal layak huni saja), tapi sekarang, anda bisa lihat sendiri, ada banyak kawasan hunian yang tidak hanya nyaman untuk tempat tinggal, tapi lengkap terintegrasi dengan berbagai fasilitas umum, dan berbagai bangunan seperti menara apartemen, perkantoran, hingga mall-mall sekarang ini sudah menjadi jenis bangunan yang biasa (minimal di kota-kota besar). Dan jika dulu orang-orang hanya nyimpen duit dibawah bantal, maka sekarang mereka yang tinggal di kampung sekalipun sudah terbiasa menabung ke bank, dan juga terbiasa menggunakan mesin ATM.
Sebagian besar pelaku pasar saham mungkin tidak memperhatikan perubahan-perubahan diatas, padahal itu semua adalah perubahan fundamental yang akan mengarah pada peningkatan living standard yang lebih lanjut. You see, dengan mampu membuat aplikasi, maka artinya orang Indonesia mulai melek teknologi, dan kedepannya akan tercipta produk-produk teknologi lainnya, dan keberadaan berbagai produk teknologi tersebut akan semakin meningkatkan standar living masyarakat Indonesia. Jika sekarang ini hunian dan fasilitas umum yang modern (seperti mall) mulai banyak di kota-kota besar, maka kedepannya kota-kota yang lebih kecil juga akan memiliki kawasan perumahan yang sama. Dan jika sekarang orang-orang mulai terbiasa ke bank, maka kedepannya mereka juga akan lebih mengenal dan memanfaatkan asuransi, investasi (termasuk di saham), dan produk-produk keuangan lainnya.
Pendek kata, Indonesia sekarang ini sedang dalam fase tinggal landas untuk menjadi negara maju di masa depan, sama seperti Amerika yang perekonomiannya mulai maju pesat sejak tahun 1950-an (pasca perang dunia kedua). PDB Indonesia sendiri terakhir tercatat US$ 1,866 per kapita, atau naik lebih dari dua kali lipat dibanding tahun 1990, dan selama 20 tahun terakhir ini trend-nya naik terus (hanya turun sekali pada krisis 1997 – 1998, tapi di tahun-tahun lainnya termasuk 2008, cenderung naik terus). Namun sudah tentu, PDB US$ 1,866 per kapita itu masih sangat rendah dibanding banyak negara-negara maju, sehingga ruang untuk bertumbuhnya masih sangat terbuka lebar.
Kesimpulan
Ketika artikel ini ditulis, IHSG was in a good mood, dan mulai banyak orang-orang yang bilang bahwa dia akan ke 5,000. Namun seperti yang sudah kita bahas di artikel berjudul ‘smart money’, investor yang cerdas akan fokus pada faktor-faktor fundamental ketimbang naik turunnya IHSG, dan juga lebih berpandangan jauh kedepan ketika kebanyakan orang hanya fokus pada fluktuasi jangka pendek. Dan diatas kita sudah membahas sedikit dari faktor fundamental tersebut, dimana kesimpulannya adalah bahwa negara kita sedang berada di track yang benar untuk menjadi negara maju, suatu hari nanti.
Sementara soal ‘pandangan yang jauh ke depan’, biar penulis kasih ilustrasi: Jika IHSG dalam 10 tahun kedepan bergerak sebesar rata-rata kenaikannya selama ini, yakni naik 12 – 13% per tahun (belum termasuk dividen), dan dengan mempertimbangkan faktor ‘tinggal landas’ diatas maka peluang kenaikan sebesar itu sangat terbuka lebar, maka IHSG akan berada di posisi 14,000 pada tahun 2026. Sehingga jika seorang investor mampu untuk paling tidak mencatat kinerja investasi yang sama dengan rata-rata pasar, maka nilai investasinya akan meningkat sekitar 3 kali lipat dalam sepuluh tahun, belum termasuk dividen. Namun berhubung ada banyak saham-saham yang selama sepuluh tahun terakhir mencatat kinerja yang lebih baik dibanding IHSG, maka jika anda mampu untuk fokus di saham-saham ‘wonderful’ tersebut, nilai porto anda akan meningkat lebih besar dari sekedar 3 kali lipat dalam sepuluh tahun kedepan, mungkin 5 – 6 kali lipat atau lebih besar lagi, dimana kinerja sebaik itu bisa dicapai tanpa perlu capek-capek trading atau ngamatin harga saham tiap hari, melainkan cukup buy sekali ketika pasar dilandar panic selling, dan jualnya mungkin nanti ketika pasar sudah benar-benar euforia.
Okay, I think that’s enough. Melalui kolom komentar dibawah, penulis juga mengajak anda untuk sharing pendapat anda tentang bagaimana kira-kira Indonesia dalam 10 tahun kedepan, berdasarkan perkembangan yang sudah terjadi selama 10 – 20 tahun terakhir. Catatan: penulis masih utang pembahasan saham bagus dan murah, tapi artikel diatas adalah juga untuk mengingatkan anda untuk membaca annual letter terbarunya Berkshire Hathaway. Trust me, membaca annual letter tersebut adalah seperti belajar langsung dari Opa Buffett sendiri, dan itu jauh lebih bermanfaat ketimbang membaca berita bahwa Ahmad Dhani akan mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta atau semacemnya.
The Calm Investor, buku tentang kontrol emosi & psikologis dalam berinvestasi di pasar modal, sudah terbit! Anda bisa membelinya disini, harganya hanya Rp55,000.
Penulis membuat buku yang berisi kumpulan analisis saham-saham pilihan di BEI, dan anda bisa memperolehnya disini. |
Uang Mengalir pada tempat yang paling menguntungkan ( Profit is Queen, Cash Flow is King )
Selasa, 15 Maret 2016
Seminar Calm Investor, Jakarta, 2 April 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar