KONFRONTASI - Indonesia terus jadi Sapi Perah. Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) menilai, penawaran harga PT Freeport Indonesia (Freeport) atas 10,64 saham sebesar US$ 1,7 miliar, tidak wajar alias terlalu mahal.
"Kalau pemerintah membayar 1,7 miliar dolar AS untuk 10 persen saham Freeport, enggak ada dasarnya. Tidak wajarlah," kata Direktur Cirrus, Budi Santoso di Jakarta, Sabtu (16/1/2016).
Kata Budi, untuk 10,64% saham Freeport dibanderol US$ 1,7 miliar, tidaklah wajar. Alasannya, total aset perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu, diperkirakan hanya mencapai $11,6 miliar pada 2021.
Masih kata Budi, sejauh ini, wilayah kerja tambang Freeport masih terus dalam tahap pengembangan. Dalam empat tahun terakhir, Freeport masih absen mengucurkan deviden ke pemerintah. "Kalau 2021 diproyeksikan. Bila dilihat, keuntungan tahun 2014 dan 2013 itu menurun," kata Budi.
Menurutnya, perhitungan total aset yang menjadi pertimbangan Freeport tidak disesuaikan dengan skenario saat kontrak berakhir. Freeport Indonesia justru menghitung aset hingga rencana pengembangan 2041. "Artinya, enggak bisa dia (Freeport) menilai portofolio itu sampai 2041," terang Budi.
Selain itu, Budi memiliki pertimbangan lain. Bahwa, kegiatan ekspor konsentrat Freeport sepanjang 2015 mengalami penurunan. Sehingga berdampak kepada anjloknya penjualan serta terpangkasnya profit.
"Total asetnya, enggak sampai US$16 miliar. Apalagi 2015 ekspor turun, penjualan turun, profit jelas turun. Pertanyaannya, apa mungkin dalam waktu lima tahun ada kenaikan. Net profit 2013 saja turun ke 2014. 2015 juga akan turun," papar Budi.
Dengan demikian, lanjut Budi, penawaran nilai saham yang diajukan manajemen Freeport, tidak esuai cerminan kinerja dalam beberapa tahun terakhir, serta proyeksi lima tahun mendatang. Otomatis, nilai saham 10,64% seharusnya di bawah US$1,7 miliar.(Juft/Inilan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar