Jumat, 08 Juli 2016

Andrew Carnegie: Why People?

First Half 2016 Review

The Science of Hitting

The Science of Hitting


The current market conditions and my results for the start of the year


The first half of 2016 was quite eventful.

By early February, the Standard & Poor's 500 was off more than 10%. Despite this, the index was back in positive territory by the end of the first quarter. The second quarter was range bound until Brexit, which drove markets lower globally. Those fears were short-lived (at least in the U.S.) with the S&P 500 quickly picking up the ground lost on the two trading days after the vote. When all was said and done, the S&P 500 increased roughly 2.5% for the first six months of the year (and nearly 4% including dividends).

At the end of the second quarter, the S&P 500 was at ~2,100, a level first touched in February 2015. Data from Yardeni Research (here) shows that consensus forecasts for S&P 500 operating (non-GAAP) earnings per share in 2016 are currently around $118 (it’s worth noting that this estimate has consistently trended lower for the two years or so that it’s been published). Based on those estimates, the S&P 500 currently trades at roughly 18x forward non-GAAP earnings.


Data from GuruFocus show that the Shiller P/E (also known as CAPE) is currently at ~26x, well above its historic average (the monthly average over the past 50 years has been ~20x). Here’s one contributing factor: the 10-year Treasury currently yields 1.4%, compared to 6.5% on average over the past 50 years. As Warren Buffett (TradesPortfolio) noted at the 2016 Berkshire Hathaway(BRK.B) annual meeting, this has a material impact on valuations:
“If people ever really start thinking that something close to this is normal, that will have an enormous effect on asset values. It already has some effect.”

Everything should be viewed in terms of opportunity costs. I’ve been pretty vocal about my inability to find attractive equity investments over the past few years (against a hurdle rate in the double digits), which is why I hold a large percentage of my portfolio in cash (~20% currently). With that said, there’s one thing I’m quite sure of: I can find dozens of stocks I’d rather own instead of a 10-year Treasury bond. I'd much rather own a low-cost index fund than long-term U.S. government bonds. This speaks to the unattractive nature of long bonds, not the (absolute) appeal of equities.

Where I may differ from others is that I have no qualms about holding lots of cash (and putting it to work quickly, in size, if I think I find the right opportunity to do so). It’s unclear to me why every last dollar in my portfolio must be allocated to either stocks or bonds at all times (by which I mean long-term bonds, not short-term holdings that are essentially equivalent to cash). That statement carries additional weight in an environment where inflation is negligible.

If you're managing other people's money, cash might not be an easy default: clients aren’t happy paying an AUM fee while a large percentage of their portfolio sits idle on the sidelines. What many of them may find in the long run is there’s one thing they’ll hate more: sizable drawdowns.

Portfolio review
I was relatively inactive in the first half of the year; those who have read my articles for some time probably wouldn't expect any differently.

I made two purchases in the first half of 2016, both of which coincided with broad market volatility. I added to my position in Yelp (YELP) in early February and initiated a position in Moody’s (MCO) in late June. You can read about those investments here (Yelp) and here (Moody’s).
I wrote about Moody’s a few weeks ago and don’t have anything to add. On Yelp, the investment has been a pleasant surprise. My most recent purchase had the lucky timing of being within spitting distance of the market bottom. The stock has nearly doubled since February, which certainly isn’t what I was expecting. The company put up solid numbers in the most recent quarter. Obviously the higher valuation implies more optimism about the future than it did five months ago. While I continue to like YELP, I’ll probably cut the position size for portfolio management reasons (I like it a lot less at $30 than I did at $20 – and it’s a much larger percentage of my portfolio now). If we see it fall 30% or more from current levels, I’d like to be in a position to buy more.
I made a single sale in the first half of the year, which had an immaterial impact on my portfolio. If Mr. Market bids equities higher in the back half of the year, my activity will increase. I have a number of holdings near the point where I’m willing to sell (as was the case at the end of 2015).

Conclusion
Overall, my portfolio was up ~8% in the first half of the year. Berkshire Hathaway, my largest holding, increased nearly 10% in the first six months of 2016, providing a nice tailwind. Other large holdings like Johnson & Johnson (JNJ) and Walmart (WMT) helped as well, offsetting weakness in other (mostly smaller) portfolio positions.
I’m hoping we’ll see continued market volatility in the back half of the year. When Mr. Market jumps between bouts of euphoria and despair, I’m a happy camper.
As always, I’m interested in hearing your thoughts.
Disclosure: Long BRK.B, YELP, MCO, JNJ, WMT.

About the author:

The Science of Hitting
I'm a value investor with a long term focus.

I think Charlie Munger has the right idea: "Patience followed by pretty aggressive conduct."

I run a fairly concentrated portfolio, with a handful of positions accounting for the majority of the total. From the perspective of a businessman, I believe this is sufficient diversification.

Start a free seven-day trial of Premium Membership to GuruFocus.

Kamis, 07 Juli 2016

Manajemen Kekayaan

Halo apakabar!

Terima kasih, beberapa waktu lalu, Anda sudah berkenan mengunduh ebook bagus tentang Financial Planning dari Blog Strategi + Manajemen.
Silakan dipelajari dan dipraktekkan. Sebab teori tanpa aksi adalah ilusi. Dan aksi tanpa teori adalah anarki.

Nah sekarang, saya mau tanya nih : Apakah Anda ingin menjadi orang kaya, makmur dan rezekinya melimpah serta barokah?

Berikut 3 artikel tentang “manajemen kekayaan” yang perlu Anda simak dengan seksama.
Tiga sajian yang mencerahkan dan bisa membawa perubahan masif dalam hidup Anda.

Artikel ini khusus untuk anak-anak muda. Bagi yang usianya sudah diatas 35 tahun, tidak perlu baca. Sudah terlambat dan nanti malah menyesal.

Lahir dalam keadaan miskin itu bukan salah kita. Itu takdir. Namun mati dalam kondisi serba kekurangan benar-benar karena salah kita sendiri. Artikel ini mengguncang emosi. Jika Anda mudah tersinggung, jangan baca artikel no 2 ini.

Kenapa mayoritas orang berada dalam kondisi keuangan yang terbatas, dan bahkan kadang terjebak hutang? Ada 5 penyebab utamanya.

DEMIKIANLAH, 3 tulisan yang mudah-mudahan bermanfaat.

Doa dari saya semoga Anda semua selalu dilimpahi rezeki yang barokah dan terus mengalir.

Salam hangat,




Yodhia Antariksa, Msc in HR Management

PEAK: Secrets from the new science of expertise

Alia Uluwatu, Bali


Pohon Investasi


Rabu, 06 Juli 2016

Antara Medco, Newmont, dan Bumi Resources


By Teguh Hidayat

Pada hari Jumat, tanggal 1 Juli kemarin, manajemen Medco Energi Internasional (MEDC) mengumumkan bahwa perusahaan akan mengakuisisi PT Amman Mineral Internasional (AMI), dimana AMI sebelumnya telah mengakuisisi 82.2% saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) senilai US$ 2.6 milyar atau setara Rp34.3 trilyun berdasarkan kurs Rp13,200 per USD, sehingga dengan demikian MEDC nantinya akan menjadi pemegang saham tidak langsung di NNT. Tak lama kemudian saham MEDC langsung naik hingga ditutup di posisi 1,870, atau terbang 24.7% hanya dalam sehari. Nah, anda mungkin tertarik dengan kenaikan MEDC yang luar biasa tersebut, namun disini penulis akan mengajak anda untuk menggali lebih dalam lagi soal aksi korporasi MEDC ini, plus peluang investasi yang mungkin timbul. Okay, here we go!

Bagi anda yang belum tahu, Newmont Nusa Tenggara dulunya dimiliki oleh tiga pemegang saham yakni Newmont Corp (Amerika Serikat) sebanyak 45%, Sumitomo Corp (Jepang) 35%, dan perusahaan lokal bernama PT Pukuafu Indah sebanyak 20%. Kemudian, berdasarkan peraturan Pemerintah Indonesia, Newmont Corp dan Sumitomo sebagai perusahaan asing harus menjual/divestasi sebagian saham mereka hingga mereka maksimal memegang saham NNT sebanyak total 49% saja, alias tidak lagi menjadi pemegang saham mayoritas. Karena Newmont dan Sumitomo totalnya memegang 80% saham NNT, maka terdapat 31% saham NNT yang akan dilepas. Tadinya 31% saham NNT ini akan dibeli oleh Pemerintah, namun Pemerintah menyatakan tidak memiliki dana, sehingga 31% saham ini ditawarkan kepada (atau lebih tepatnya menjadi rebutan) beberapa grup konglomerasi di tanah air.

Dan yang sukses masuk adalah Grup Bakrie, dimana mereka bersama dengan Pemprov Nusa Tenggara Barat mendirikan perusahaan patungan dengan nama PT Multi Daerah Bersaing (MDB), dimana Grup Bakrie melalui Bumi Resources Minerals (BRMS) memegang 75% saham MDB, sementara 25% sisanya dipegang oleh Pemprov NTB. MDB kemudian mengakuisisi 24% saham NNT senilai US$ 850 juta, pada tahun 2009. Dengan demikian, BRMS secara tidak langsung memegang 18% saham di NNT.

Kemudian disinilah bagian yang ramenya: Sejak awal, Grup Bakrie sudah berniat untuk menguasai NNT secara penuh alias mengakuisisi 100% sahamnya, atau paling tidak sebanyak 51% sehingga mereka menjadi pemegang saham pengendali perusahaan, sama seperti ketika dulu mereka sukses mengakuisisi kepemilikan mayoritas di Arutmin, Kaltim Prima Coal (KPC), dan lainnya. Setelah MDB sukses mengakuisisi 24% saham NNT, maka masih terdapat sisa 7% saham NNT yang harus dilepas oleh Newmont Corp dan Sumitomo, namun lagi-lagi Pemerintah Pusat tetap tidak mau mengambil sisa saham yang 7% tersebut. MDB sebenarnya sudah mengajukan proposal untuk juga mengakuisisi sisa saham yang 7% tersebut, tapi kali ini Newmont Corp dengan tegas menolak untuk melepas sahamnya ke Bakrie, karena mereka tahu persis bahwa itu bisa berarti bahwa mereka akan kehilangan kontrol atas NNT. Meski Newmont Corp dan Sumitomo memang diharuskan untuk melepas saham NNT sehingga mereka tidak lagi menjadi pemegang saham mayoritas, namun mereka tetap menginginkan kontrol penuh atas perusahaan, dengan cara membuat pemegang saham lain memiliki saham NNT dalam jumlah yang lebih sedikit dari yang mereka miliki.

Jadi dengan demikian kuncinya sekarang terletak di pemegang saham NNT yang satunya lagi: PT Pukuafu Indah, yang dimiliki oleh pengusaha lokal bernamaJusuf Merukh. Mr. Merukh tidak memiliki keinginan untuk menjadi pemegang saham pengendali di NNT, namun posisi tawarnya menjadi sangat tinggi setelah Grup Bakrie mendekati beliau untuk mengakuisisi 20% saham NNT dari PT Pukuafu, sementara Newmont Corp juga terus mendekati Mr. Merukh agar jangan sampai menjual sahamnya ke Bakrie.

Dan sepertinya kali ini Newmont Corp-lah yang menang. Pada tahun 2010, sebuah perusahaan lokal bernama PT Indonesia Masbaga Investama (IMI)membeli 2.2% saham NNT senilai US$ 71.3 juta dari PT Pukuafu, sehingga PT Pukuafu tinggal memegang 17.8% saham NNT. Menariknya, IMI memperoleh dana US$ 71.3 juta tadi dari Newmont Corp. dalam bentuk pinjaman, sehingga boleh dikatakan bahwa Newmont Corp-lah yang membeli 2.2% saham NNT tersebut. Skenarionya, bahkan jika Grup Bakrie melalui MDB sukses menyapu habis 17.8% saham milik PT Pukuafu plus 7% saham yang menjadi jatah pemerintah, maka mereka totalnya hanya akan memegang 48.8% saham di NNT, sehingga Newmont Corp bersama dengan Sumitomo tetap akan memegang saham di NNT dalam jumlah yang lebih besar yakni49%, jadi otomatis mereka tetap akan memegang kendali atas NNT. Grup Bakrie sendiri tidak mungkin mengakuisisi 2.2% saham NNT yang dipegang oleh IMI, karena sejak awal IMI diback-up oleh Newmont Corp.

Jadi sejak saat itulah, Grup Bakrie berhenti ‘mengejar’ Newmont.

Waktu berlalu. Setelah tahun 2011, harga-harga komoditas termasuk batubara, emas, dan tembaga mulai turun, dan terus turun hingga Newmont Corp sendiri mulai kesulitan keuangan, demikian pula dengan Grup Bakrie. Kinerja keuangan NNT sendiri terus turun, dimana pada tahun 2014 perusahaan merugi US$ 114 juta (NNT merupakan perusahaan private, tapi kinerja keuangannya bisa dilihat di laporan keuangan BRMS), dan pada tahun 2014 itu pula, Bumi Resources (BUMI) sebagai induk dari BRMS mulai bermasalah dengan utang-utangnya, dimana mereka mau tidak mau harus melepas beberapa asetnya untuk membayar utang. Dan karena Grup Bakrie sejak awal sudah tidak mungkin menguasai NNT secara penuh, maka 24% saham NNT yang mereka miliki menjadi salah satu aset yang dipertimbangkan untuk dijual. Dijual ke siapa? Ya ke siapapun yang menawar pada harga terbaik.

Hingga akhirnya pada tanggal 30 Juni 2016 kemarin, BRMS melalui MDB sebagai anak usahanya setuju untuk menjual 24% saham NNT ke perusahaan bernama PT Amman Mineral Internasional (AMI), dimana AMI sebelumnya juga sudah mengakuisisi saham NNT yang dimiliki oleh Newmont Corp., Sumitomo, dan IMI, dan AMI ini pada gilirannya akan diakuisisi oleh MEDC. Namun berdasarkan pengumuman dari manajemen BRMS, penjualan saham NNT tersebut baru akan efektif setelah nanti memperoleh persetujuan dari Pemerintah, kreditur MDB (karena MDB membeli Newmont pake utang), dan persetujuan lain yang dipersyaratkan dalam peraturan pasar modal. Intinya, BRMS baru berada pada tahap setuju untuk menjual saham NNT ke Grup Medco, namun soal harganya berapa dll, itu masih dalam tahap negosiasi.

Sementara kalau kita pakai pengumuman dari MEDC sebagai acuan, dimana MEDC akan mengakuisisi AMI yang memegang 82.2% saham NNT senilai US$ 2.6 milyar, dan kita asumsikan bahwa AMI membeli saham NNT dari Newmont Corp, Sumitomo, IMI, dan MDB pada harga yang sama, maka BRMS sebagai pemegang efektif 18% saham NNT akan memperoleh dana US$ 570 juta.

Peluang di saham MEDC? Atau Malah BRMS?


Jika benar bahwa Medco membeli NNT dari BRMS pada harga US$ 570 juta, maka artinya BRMS menjual NNT dalam posisi rugi, karena seperti yang sudah disebut diatas, BRMS melalui MDB membeli 24% saham NNT dengan nilai US$ 850 juta pada tahun 2009, dimana BRMS sebagai pemegang 75% saham di MDB harus keluar dana US$ 637.5 juta (850 juta x 3/4). Di lap keu BRMS sendiri jelas disebutkan bahwa nilai saham mereka di Newmont sudah tumbuh karena akumulasi laba bersih menjadi US$ 1 milyar.

Jadi jika BRMS hanya menerima pembayaran US$ 570 juta, maka di laporan laba ruginya akan terdapat akun ‘rugi atas pelepasan investasi’, yang menyebabkan BRMS bukannya mencatat profit dari penjualan NNT ini, melainkan justru rugi, dimana meski BRMS memperoleh dana kas senilai US$ 570 juta, namun perusahaan juga kehilangan asetnya senilai US$ 1 milyar. However, sebelum menjual sahamnya di Newmont, Grup Bakrie juga pernah beberapa kali menjual asetnya untuk membayar utang, biasanya pada posisi untung, dimana harga jual asetnya lebih tinggi dibanding harga ketika dulu mereka membeli aset tersebut. Jadi dalam hal ini penulis ragu jika Grup Bakrie benar-benar melepas sahamnya di Newmont pada harga obralan, meski disisi lain bukan tidak mungkin pula BRMS melepas Newmont pada harga ‘berapa sajalah, yang penting laku!’, mengingat perusahaan punya utang jangka panjang yang akan jatuh tempo dalam waktu kurang dari setahun, senilai hampir US$ 500 juta.

Tapi entah itu BRMS menjual NNT pada harga diskon atau harga premium, yang jelas MEDC mengakuisisi 82.2% saham NNT pada harga US$ 2.6 milyar. Nilai ekuitas NNT sendiri tercatat US$ 3.06 milyar pada akhir tahun 2015, yang setelah ditambah laba bersih sebesar US$ 61 juta pada Kuartal I 2016, maka ekuitas tersebut menjadi US$ 3.12 milyar. Ini artinya MEDC membeli NNT pada PBV 1.01 kali saja, alias sangat murah mengingat NNT mulai kembali membukukan profit sejak tahun 2015 kemarin yang kemudian berlanjut pada tahun 2016 ini, dan nilai profit itu bisa lebih besar lagi jika kedepannya harga emas terus melanjutkan trend kenaikannya yang sudah terjadi sejak enam bulan lalu. Jadi meski MEDC mengakuisisi Newmont menggunakan dana pinjaman dari tiga bank (tentu saja) yakni Bank Mandiri, BNI, dan BRI, namun keuntungan yang dihasilkan akan jauh lebih besar dibanding bunga yang harus dibayar perusahaan ke bank.

So, berdasarkan analisa diatas, maka cukup jelas bahwa peluangnya terdapat di saham MEDC, bukan BRMS apalagi BUMI. MEDC sendiri pada harga 1,870 masih mencatat PBV 0.7 kali, jelas masih murah, meski juga perlu dicatat bahwa sejak jaman baheula MEDC ini tidak pernah cocok untuk investasi long term karena profitabilitasnya yang amat sangat kecil sebagai perusahaan minyak, bahkan ketika dulu harga minyak sedang tinggi-tingginya di level US$ 100 per barel (kita pernah membahasnya di tahun 2010 di artikel ini, waktu itu sahamnya berada di level 3,000). Anyway, MEDC gak bisa disebut sebagai perusahaan jelek juga, sehingga kalau ada berita bagus seperti ini maka biasanya sahamnya menawarkan peluang untuk trading jangka menengah, terutama karena berita soal akuisisi Newmont ini biasanya bakalan ‘awet’ dalam beberapa bulan kedepan, mengingat MEDC baru sebatas menyatakan setuju untuk mengakuisisi Newmont, sementara penyelesaian akuisisinya masih harus menunggu proses persetujuan Pemerintah dan RUPS (jadi kedepannya akan keluar lagi berita dengan judul ‘Medco resmi menuntaskan akuisisi Newmont’ atau semacamnya).

Namun karena seperti yang sudah disebut diatas, MEDC ini kurang cocok untuk long term (kecuali jika nanti laba MEDC melompat karena tambahan laba dari Newmont, tapi bahkan kalaupun itu terjadi, maka terjadinya masih lama), maka anda harus tetap hati-hati, apalagi belakangan ini harga minyak dunia mulai turun lagi. Lalu bagaimana dengan BRMS? Well, meski penulis tidak melihat bahwa kinerja keuangan perusahaan akan improve bahkan setelah nanti proses akuisisi Newmont ini tuntas, namun sahamnya kemungkinan tetap akan ‘main’ karena cerita soal Newmont ini, dimana kalau dia terbang maka kenaikannya bisa jauh lebih tinggi dibanding ketika kemarin MEDC naik 24% sekalipun (ingat waktu kemarin BUMI naik dari 50 ke 82, alias naik 64%, hanya dalam dua hari???). Tapi yah, kalau MEDC ternyata malah turun sampai 1,580 (itu support teknikalnya), maka paling tidak anda masih bisa cut loss. Sedangkan kalau BRMS mati di gocap? Ya wassalaaaam! Jadi dalam hal ini, meski BRMS mungkin menawarkan potensi profit yang lebih tinggi, namun risiko kerugiannya juga lebih tinggi lagi. So, your call!

Catatan: TeguhHidayat.com tetap online selama libur lebaran, jadi email-email yang masuk tetap akan dibalas secepatnya.

Info: Buletin Analisis IHSG & Stock Pick Saham Pilihan edisi Juli 2016 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini. Gratis konsultasi saham via email untuk member, langsung dengan penulis.